Saat Ayah Dianjurkan Mengambil Rapor Anaknya
Surat dari sekolah anaknya telah diterimanya. Dia sebagai ayah merasa senang di satu sisi karena mungkin akan lebih banyak ayah yang peduli. Fenomena fatherless children sudah sedemikian luas. Di sisi lain dia berharap semoga surat ini tidak mengokohkan kesalahpahaman yang sudah lama terjadi.
Surat itu berisi anjuran agar para ayah mengambil rapor anaknya masing-masing. Sifatnya anjuran. Jika ayah berhalangan, rapor masih bisa diambil ibu.
Anjuran ini dinamakan Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak Sekolah. Tidak ada latar belakang atau landasan berpikir dari gerakan ini. Kesan yang ditangkap, selama ini ibu lebih banyak datang ke sekolah untuk urusan pendidikan anak di sekolah, sementara ayah sesekali saja. Sampai di sini, kesan ini dapat diterima.
Akan tetapi bila kekerapan datang ke sekolah dinyatakan sebagai indikator kepedulian, maka mindset ini perlu ditelaah ulang. Ibu yang kerap datang ke sekolah mungkin peduli dengan pendidikan anak. Sementara ayah yang jarang bukan berarti tidak peduli. Bisa jadi ayah punya urusan yang urgen. Bila urusan selesai, manfaatnya untuk keluarga juga.
Ayah punya cara sendiri sebagai kepedulian terhadap pendidikan anak, demikian pula ibu. Keduanya tidak bisa disamakan. Justru dengan perbedaan, terjadi saling melengkapi dalam pendidikan anak.
Perihal lain yang perlu menjadi pertimbangan untuk merevisi mindset tersebut adalah batasan syar'i. Saat para guru kelas di tingkat PAUD dan SD kebanyakan perempuan, tentu lebih bijak jika ibu menjadi wakil keluarga prioritas untuk urusan persekolahan anak. Agar hijab lebih terjaga, tukar informasi lebih leluasa.
Oleh karena itu gerakan ini perlu didukung. Di sisi lain kajian atas tugas pendidikan ayah dan ibu perlu diperjelas, tidak sempit pada masalah rapor saja. Keluasan ini penting mengingat pendidikan juga luas, sekolah dan di luar sekolah. Apalagi jika aspek ukhrawi dimasukkan dalam orientasi pendidikan.
Berbagai pihak, pemerintah, sekolah, dan ahli perlu duduk bersama guna merumuskan peranan ayah dan ibu dalam pendidikan anak. Lebih bagus jika organisasi keagamaan dan dunia industri juga diajak mengkaji sekaligus nantinya diberi tugas dalam pendidikan anak. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki peran spesifik dalam pendidikan anak secara makro.
Pada akhirnya suatu framework diperlukan dalam pendidikan anak. Framework ini perlu mengakomodasi ajaran agama, regulasi pendidikan nasional dan daerah, serta kearifan lokal. Framework ini kemudian memandu semua pihak memainkan peranannya dalam pendidikan anak, sebagaimana pepatah terkenal dari Afrika, "It needs a village to raise a child (butuh satu desa untuk mengasuh satu orang anak)."
Jika satu anak perlu diasuh oleh satu desa, bagaimana dengan lebih dari satu anak?
Wallah a'lam.
Kepada para ayah, teruslah meningkatkan diri agar bisa menjadi sosok inspiratif bagi keluarga dan insan di penjuru dunia.


Post a Comment