Healing dan Bahagia Sejati
Jika ada kata-kata yang mulai
tergeser, salah satunya ‘rekreasi’. Sedikit sekali orang yang mengucapkannya
dalam obrolan sehari-hari. Sementara di berbagai media, kata ini juga jarang
dimunculkan. Satu kata kemudian menggantikannya, ‘healing’.
Healing sendiri, sebagaimana diketahui, berawal dari istilah kesehatan jiwa. Artinya kurang lebih, aneka upaya untuk menyehatkan dan menyegarkan jiwa kembali. Rekreasi hanya salah satu di antara sekian banyak aktivitas healing.
Akan tetapi kini healing lebih mengemuka. Beban hidup sehari-hari mendorong orang-orang untuk pergi rekreasi, tidak sekedar melepas penat badan dan pikiran, lebih dari itu agar menjauh dari pusat kepenatan. Sehingga muncul anggapan, semakin jauh healing, semakin baik.
Perlu diakui bahwa beban hidup
manusia modern jauh lebih berat. Target-target dan bullying saja sudah
cukup berat. Belum lagi ada fenomena fomo. Semakin berat rasanya.
Di sisi lain, aktivitas ibadah
tidak lagi dilirik sebagai healing. Ibadah dilakukan ala kadar, sekedar
penggugur kewajiban. Padahal Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu ketika akan shalat,
sebagaimana diriwayatkan Ahmad, “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan
shalat.”
Sebagian orang malah bolong-bolong
shalatnya, kadang shalat, kadang tidak. Jika lingkungan sekitar
berbondong-bondong shalat, mereka ikut. Sebaliknya jika lingkungan tidak
terlihat shalat, mereka pun larut.
Dari sini dapat ditangkap ada
masalah pemikiran. Bahwa shalat bukan obat. Padahal shalat sesuatu yang nikmat.
Dengannya badan bisa sehat dan bugar, jiwa bersemangat.
Lebih jauh dapat dipahami
bahwa keimanan belum masuk dalam diri. Allah ta’ala belum jadi prioritas.
Allah ta’ala sudah dikenal, tapi belum dipahami. Sehingga apapun
perintah-Nya lebih dianggap beban.
Dengan demikian pemikiran
perlu dijernihkan. Dialog perlu dilangsungkan. Jiwa perlu hadir saat dialog.
Agar kesadaran lahir. Bahwa Allah ta’ala pusat sekaligus prioritas
hidup. Bahwa apapun yang diperintahkan-Nya bukanlah beban tapi sesuatu yang
bermanfaat.
Sembari pemikiran terus dijernihkan,
perilaku mulai dikelola. Kewajiban diupayakan untuk senantiasa tuntas.
Sementara perkara halal diraih secukupnya. Sedangkan perkara haram dijauhi
sejauh-jauhnya.
Berat memang mengelola
perilaku, apalagi jika tidak dibiasakan sebelumnya. Dalam hal ini dzikir jadi
kunci. Dimanapun dan kapanpun hendaklah dzikir terus dilafalkan, dengan lisan
ataupun dalam hati. Semoga diri terus terhubung dengan Allah ta’ala.
Penjagaan-Nya terus menyertai.
Kunci lainnya adalah
komunitas. Orang-orang yang ingin shaleh berkumpul dalam satu komitmen, saling
menjaga dalam kebaikan. Tidak ada satupun orang dibiarkan berbuat buruk.
Jika ada satu atau beberapa
orang terjatuh pada keburukan, maka komunitas akan menariknya kembali untuk
dikembalikan kepada jalan kebaikan. Satu catatan penting dalam komunitas:
Saling sabar.
Mensuasanakan lingkungan
sehari-hari juga penting. Meminta tolong kepada orang terdekat untuk
mengingatkan merupakan satu pilihan bijak. Misalkan meminta tolong kepada rekan
kerja. Saat ada kesalahan dilakukan, rekan kerja langsung mengingatkan.
Lagi-lagi ini tidak mudah.
Namun kembali kepada komitmen. Jika komitmen untuk lebih baik begitu kuat, maka
pengingat teman tidak akan jadi masalah.
Jika semua ikhtiar itu sudah
dilaksanakan, semoga Allah ta’ala karuniakan dua hal sekaligus, yaitu
arah hidup ukhrawi dan kebersihan hati. Dengan arah hidup ukhrawi, seluruh
energi dan aset digunakan untuk tabungan akhirat. Wujudnya berbagai amal
shaleh. Selain itu tak ada lagi keinginan melampaui batas, melanggar batas
halal-haram, apalagi hanya sekedar untuk menunjukkan dirinya jagoan atau
dominan.
Arah hidup ukhrawi dikuatkan
dengan kebersihan hati. Iri, ‘ujub ingin dianggap jagoan, dan riya’ perlahan
memudar. Sehingga fenomena-fenomena modern tidak berpengaruh. Fomo hilang.
Adanya tinggal tawadhu’ dan tadharru’. Postingan di media sosial diarahkan
lebih ke tahadduts bin ni’mah, disertai kalimat thoyibah.
Terkait target-target dan bullying,
ada mujahadah untuk menyelesaikan. Doa dan ikhtiar ditingkatkan. Musyawarah tak
dilupakan. Jika contra-action diperlukan, maka dilakukan sebaik-baiknya
dengan meminimalkan mudharat.
Demikianlah semoga hidup
kembali ke jalur yang benar. Bahwa manusia berhak bahagia. Bukan dalam
hari-hari tertentu, tapi setiap saat manusia perlu bahagia. Karena
keterhubungan dengan Allah ta’ala itulah awal kebahagiaan, apapun yang
menimpa diri.
Wallahu a’lam.


Post a Comment