Baitul Maqdis Institute: Pernyataan Prabowo di PBB Rugikan Perjuangan Palestina
Dikutip dari media Hidayatullah.com, Baitul Maqdis Institute menilai pernyataannya di Sidang Umum PBB, 22 September 2025, yang ‘mengakui’ penjajah ‘Israel’ dianggap terlalu terburu-buru dan merupakan blunder diplomatik.
“Kebijakan untuk sekadar mengakui Palestina tidak boleh dijadikan alat tawar bagi Indonesia, yang memiliki mandat konstitusi melawan dan menghapus penjajahan, untuk mengakui sang penjajah ‘Israel’,” ujar pernyataan Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute, Pizaro Gozali Idrus, Selasa (23/9/2023) sebagaimana diperoleh hidayatullah.com.
Menurut Baitul Maqdis Institute, pernyataan ini bisa menuai kritik luas dari masyarakat dan sejumlah pakar internasional karena dianggap blunder dan tidak melibatkan konsultasi publik secara memadai.
Baitul Maqdis Institute menekankan bahwa pengalaman sejarah, termasuk Perjanjian Oslo, menunjukkan bahwa pengakuan formal ‘Israel’ terhadap Palestina tidak diikuti dengan tindakan nyata untuk mengakhiri penjajahan.
“Sikap terlalu terbuka untuk mengakui ‘Israel’ justru memberi celah bagi ‘Israel’ untuk sekadar memberikan pengakuan formal terhadap Palestina, tanpa aksi faktual untuk menghentikan penjajahan, penindasan, dan genosida,” kata Pizaro.
Institusi ini khawatir langkah terburu-buru tersebut bisa menjadi jebakan diplomatik yang merugikan perjuangan Palestina dan membuka jalan normalisasi tanpa keadilan.
Selain menyoroti pidato Prabowo, Baitul Maqdis Institute juga menanggapi pengakuan sejumlah negara atas Negara Palestina, termasuk Inggris, Prancis, Kanada, Australia, dan Portugal.
Mereka menilai langkah ini sebagai dukungan simbolis, tetapi harus dibarengi dengan tindakan nyata. Pengakuan yang terlambat, kata institusi ini, tidak cukup untuk menghapus penderitaan rakyat Palestina yang telah berlangsung lebih dari satu abad, terutama di Jalur Gaza.
Lembaga ini mengingatkan sejarah Inggris yang terlibat dalam Deklarasi Balfour 1917, yang menjanjikan tanah Palestina kepada gerakan Zionis.
“Pengakuan yang baru diberikan 108 tahun kemudian merupakan ironi sejarah yang menyakitkan bagi bangsa Palestina,” ujar institusi ini. Mereka menegaskan, pengakuan formal tanpa pertanggungjawaban moral dan politik tidak memiliki dampak signifikan terhadap nasib rakyat Palestina.
Selain itu, Baitul Maqdis Institute menekankan pentingnya sanksi nyata terhadap penjajah ‘Israel’, termasuk penghentian penjualan senjata, pemutusan kerja sama militer dan ekonomi, serta penuntutan terhadap pejabat ‘Israel’ yang terlibat dalam genosida. Tanpa langkah strategis ini, pengakuan negara hanya bersifat simbolik.
Lembaga ini juga menyoroti hak faksi perlawanan Palestina untuk melawan agresi ‘Israel’. “Perlawanan bersenjata sebagai mekanisme pertahanan diri merupakan hak bangsa Palestina untuk mempertahankan tanah airnya, kedaulatannya, dan kebebasannya dari agresi Zionis ‘Israel’. Hak itu diakui oleh hukum internasional,” tegas Baitul Maqdis Institute.
Selain itu, mereka mencatat skeptisisme warga Gaza terhadap pengakuan negara. Banyak yang menilai pengakuan politik tidak sebanding dengan penderitaan yang terus berlangsung.
Dukungan Amerika Serikat terhadap penjajah ‘Israel’ juga disebut memperkuat impunitas ‘Israel’ dalam melakukan kejahatan perang dan genosida, termasuk dengan memveto resolusi PBB yang bisa melindungi rakyat Palestina.
Baitul Maqdis Institute juga mendesak dunia Islam, melalui OKI dan kerja sama regional, untuk mengambil langkah tegas, termasuk meninjau ulang kerja sama dengan AS dan menggunakan kekuatan kolektif untuk menekan kebijakan Amerika terhadap Palestina. Baitul Maqdis Institute menegaskan bahwa perjuangan Palestina bukan sekadar soal diplomasi, tetapi persoalan keadilan, hak asasi manusia, dan hukum internasional. Pengakuan negara harus diikuti tindakan nyata untuk menghentikan agresi, mengadili penjahat perang, dan menjamin hak rakyat Palestina.*
Sumber www.hidayatullah.com
Penerimaan Murid Baru Sekolah Hidayatullah Yogyakarta Tahun Ajaran 2026/2027
Post a Comment