Mengapa Umat Muslim Tidak Boleh Memiliki Bom Atom?


Abdul Qadir Khan, sosok yang hidupnya menjadi legenda dan berhasil menjadikan Pakistan sebagai kekuatan nuklir, masih belum ada generasi baru yang lahir mengikuti jejaknya

BADAN Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) menjulukinya sebagai sosok yang lebih berbahaya dari Usamah (Osama) bin Laden. Badan mata-mata ‘Israel’, Mossad, bahkan membentuk tim khusus untuk membunuhnya.

Pria ini adalah Abdul Qadir Khan, sosok yang hidupnya menjadi legenda dan berhasil menjadikan Pakistan sebagai kekuatan nuklir.


Pada tahun 1974, India melakukan uji coba nuklir pertamanya. Pakistan tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah. Zulfikar Ali Bhutto, Perdana Menteri Pakistan saat itu, menyampaikan sebuah pernyataan yang menjadi awal dari segalanya:


“Meskipun kita harus kelaparan atau mengunyah rumput, kita akan menciptakan senjata nuklir kita sendiri. Umat Kristiani, Yahudi, dan sekarang Hindu memiliki senjata semacam itu. Mengapa umat Muslim tidak boleh memilikinya?,” demikian kutip Azon Global,  sebuah “saluran informasi dan analitis alternatif”.

Pada tahun 1976, fisikawan Pakistan Abdul Qadir Khan, yang sedang bekerja di bidang teknologi nuklir di Belanda, tiba-tiba kembali ke tanah airnya. Ia secara rahasia mendirikan sebuah laboratorium yang memproduksi uranium yang diperkaya.


Proses ini dirahasiakan selama bertahun-tahun. Bahkan Benazir Bhutto tidak diizinkan mengakses fasilitas nuklir Kahuta. Peralatan yang dibutuhkan diduga diimpor melalui perusahaan fiktif untuk “pabrik tekstil”.


Pada tahun 1979, rahasia ini terungkap. Dunia terkejut. Belanda menuduh Abdulkadir melakukan “spionase”. ‘‘Israel’’, kanker dunia yang selalu mendikte Amerika, melayangkan protes keras.

Namun, Abdul Qadir Khan tidak gentar. Ia benar-benar ingin Pakistan memiliki senjata nuklirnya sendiri. Ia mengecam para penjajah yang mengklaim dominasi dunia dan penindasan mereka terhadap bangsa-bangsa.


“Apakah para bajingan ini berpikir mereka adalah penjaga dunia?” ujarnya.

usaha-menghalangi" style="border: 0px; box-sizing: border-box; font-style: normal; line-height: 1.25; margin-block: 0px 14.4px; margin: 0px; outline: 0px; overflow-wrap: break-word; padding: 0px; vertical-align: baseline;">
Usaha Menghalangi

Perjalanan Dr. Abdul Qadeer Khan dalam membangun kekuatan nuklir Pakistan tidaklah mulus. Sejak awal 1970-an, ia menghadapi berbagai halangan dari negara dan institusi dunia.


Di Belanda, tempat ia bekerja di perusahaan FDO yang bermitra dengan konsorsium nuklir URENCO, Khan dituduh melakukan spionase karena mengakses desain sentrifugal, hingga akhirnya divonis bersalah in absentia tahun 1983 meskipun kemudian dibatalkan.


Amerika Serikat juga menjadi penghalang utama dengan menekan Islamabad lewat sanksi ekonomi dan diplomasi internasional. Menurut penulis Adrian Levy dan Catherine Scott-Clark dalam bukunya Deception: Pakistan, the United States, and the Global Nuclear Weapons Conspiracy (2007), Washington “menggunakan segala cara—dari tekanan finansial, sabotase jalur suplai, hingga operasi rahasia—agar Pakistan tidak menjadi kekuatan nuklir.”


Selain Barat, India—rival utama Pakistan—aktif melobi forum internasional untuk mencegah Islamabad mengembangkan senjata atom, terutama setelah uji coba nuklir India tahun 1974. Lembaga internasional seperti IAEA pun turut menghalangi karena Pakistan menolak menandatangani Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), sehingga fasilitas nuklirnya tidak dapat diawasi penuh.


Bahkan perusahaan-perusahaan di Eropa Barat ditekan agar tidak menjual komponen sensitif ke Pakistan, meski Khan berhasil menyiasati dengan membangun jaringan pembelian rahasia.

Tentu saja, pihak penjajah ‘‘Israel’’ merasa khawatir jika sebuah negara Muslim memiliki bom di tangan mereka.


Bahkan AS menjatuhkan sanksi terhadap Pakistan. Mossad melakukan berbagai pembunuhan untuk melemahkan program tersebut, bahkan mengancam akan mengirim bom ke para eksekutif perusahaan mitra Pakistan di Eropa.


Kaum Zionis juga berencana menyerang wilayah Pakistan menggunakan pesawat F-16 dan F-15 bekerja sama dengan India.


Setelah India menguji coba hulu ledak nuklir pada 11 Mei 1998, Pakistan juga berhasil menguji coba senjata nuklirnya sendiri di Gurun Balochistan. Dengan demikian, Pakistan menjadi kekuatan nuklir ketujuh di dunia, dan Abdul Qadir Khan menjadi pahlawan nasional bagi 250 juta rakyatnya.


Bapak Bom Nuklir Pakistan ini memimpin proyek pengayaan uranium di Kahuta Research Laboratories yang akhirnya membuat Pakistan jadi negara Muslim pertama yang punya senjata nuklir (1998).

Sejarawan Pervez Hoodbhoy dalam Pakistan: Nuclear State (Oxford University Press, 2012) menyebut, “Program nuklir Pakistan adalah sebuah perjuangan menghadapi dunia—menggabungkan tekad politik, kecerdasan teknologi, dan perlawanan terhadap hegemoni global.”


Abdul Qadir Khan, yang teguh menyatakan bahwa memberikan teknologi kepada negara Muslim bukanlah sebuah kejahatan, wafat pada tahun 2021 di usia 85 tahun.


Teknologi Militer Mandiri

Selain dia, ada beberapa tokoh lain seperti; Dr. Samar Mubarakmand seorang fisikawan nuklir Pakistan yang berperan penting dalam uji coba nuklir Chagai-I tahun 1998. Ia dikenal sebagai ahli dalam fisika partikel dan teknologi rudal, serta menjadi tokoh utama dalam pengembangan rudal balistik Hatf dan Ghauri.


Selain nuklir, ia juga berkontribusi pada program ruang angkasa Pakistan, termasuk peluncuran satelit Badr-A.


Keunggulannya tidak hanya pada teknologi nuklir, tetapi juga dalam riset energi alternatif. Mubarakmand pernah memimpin proyek gasifikasi batubara bawah tanah untuk mengurangi ketergantungan energi Pakistan.


Kecerdasannya membuat Pakistan mampu mempertahankan deterens strategis melawan India, sekaligus membangun fondasi teknologi tinggi yang mandiri.


Ada juga Mohsen Fakhrizadeh (Iran) atau sering disebut sebagai “Oppenheimer Iran” karena perannya dalam memimpin Organization of Defensive Innovation and Research (SPND). Ia dianggap arsitek utama program nuklir Iran, khususnya dalam pengayaan uranium dan pengembangan reaktor penelitian.

Fakhrizadeh juga memimpin proyek militer rahasia “Amad” pada awal 2000-an, yang bertujuan mengembangkan senjata nuklir sebelum fokus Iran beralih ke teknologi sipil.


Selain nuklir, Fakhrizadeh berkontribusi pada pengembangan sistem rudal balistik dan drone militer Iran. Kecerdasannya membuat Iran mampu bertahan dari sanksi internasional sekaligus menciptakan teknologi militer yang mandiri.


Pembunuhannya tahun 2020 dianggap sebagai kerugian besar bagi riset strategis Iran.

Ada juga Hassan Tehrani Moghaddam (Iran) dikenal sebagai “bapak rudal Iran”. Hassan Tehrani Moghaddam adalah insinyur militer yang membangun fondasi kekuatan roket Iran.


Ia memimpin pengembangan rudal jarak menengah Shahab dan Sejjil, serta proyek rudal berbahan bakar padat yang lebih modern. Inovasinya memungkinkan Iran memiliki sistem pertahanan strategis yang dapat menjangkau ribuan kilometer.


Selain rudal, Moghaddam juga mengembangkan teknologi roket pengorbit satelit, membuka jalan bagi program antariksa Iran. Wawasannya menjadikan Iran salah satu kekuatan rudal terbesar di kawasan Timur Tengah.


Meski meninggal dalam ledakan misterius tahun 2011, warisannya masih digunakan oleh militer Iran hingga kini.


Dr. Jafar Dhia Jafar (Irak) seorang fisikawan nuklir Irak pernah memimpin program nuklir di bawah Saddam Hussein pada 1980-an. Ia mengembangkan reaktor nuklir riset dan memimpin proyek pengayaan uranium dengan teknologi elektromagnetik.


Meski akhirnya dihentikan setelah Perang Teluk 1991, program tersebut sempat membuat Irak dekat dengan kemampuan memproduksi senjata nuklir.


Selain nuklir, Jafar juga berkontribusi pada pengembangan rudal balistik Irak, termasuk varian Scud yang digunakan dalam perang melawan Iran dan saat Perang Teluk.


Ia dipandang sebagai salah satu ilmuwan paling berpengaruh di dunia Arab dalam bidang teknologi strategis, meski kemudian hidup di pengasingan setelah jatuhnya Saddam Hussein.


Juga Selçuk Bayraktar (Turki), seorang insinyur dan wirausahawan teknologi yang menjadi otak di balik Bayraktar TB2, drone tempur Turki yang kini digunakan lebih dari 30 negara. TB2 terbukti efektif dalam konflik di Suriah, Libya, Nagorno-Karabakh, dan Ukraina, sehingga menjadikan Turki pemain utama dalam industri drone dunia.


Selain TB2, Bayraktar juga memimpin pengembangan drone generasi baru seperti Akıncı (drone berat berkemampuan membawa rudal jelajah) dan Kızılelma (drone jet tempur siluman). Inovasinya menempatkan Turki sebagai negara Muslim pertama yang mampu memproduksi drone bersenjata canggih secara massal, sekaligus mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat.


Siapa lagi ilmuwan Muslim lain yang akan meniru jejak mereka?*

Sumber www.hidayatullah.com


Powered by Blogger.
close