Menjadikan Anak Suka Membaca
Oleh Mohammad
Fauzil Adhim
Anak saya tujuh.
Sebelum anak pertama lahir, salah satu obsesi kami memang ingin menjadikan anak
senang membaca. Untuk itu, saya berusaha mempelajari berbagai teori tentang
mengajarkan membaca kepada anaksejak usia paling dini. Ada berbagai macam
literatur, tetapi intinya anak-anak memerlukan buku-buku yang secara khusus
dirancang untuk anak, berbahan tebal, warnanya atraktif, sedikit tulisan banyak
gambar (wordless picture book) dan yang jelas: harga buku semacam itu sangat
mahal untuk ukuran kami yang baru menikah. Apalagi sama-sama masih kuliah.
Tapi demi sebuah
cita-cita, kami tetap berusaha membeli buku-buku yang khusus dirancang untuk
anak tersebut. Mahal memang, tapi cita-cita memang memerlukan pengorbanan. Kami
bacakan buku kepada anak pertama saya, Fathimatuz Zahra, semenjak kira-kira
usia 6 minggu. Bisa apa anak di usia itu? Yang paling pokok bukan bisa atau
tidak. Yang paling penting ketika itu adalah membentuk reading pattern
(pola membaca) sehingga anak “memiliki kebutuhan membaca” pada waktu-waktu
tersebut. Kami membacakan buku untuk Fathimah sehabis memandikannya, serta saat
anak menetek mau tidur. Ini kemudian memang menjadi pola di usia-usia berikutnya.
Ini pula yang berperan penting menjadikan anak suka membaca sehingga usia 4
tahun sudah lancar membaca. Tetapi mampu membaca di usia 4 tahun sama sekali
bukan target. Tidak penting usia berapa membaca. Yang paling penting adalah ada
tidaknya, kuat tidaknya, sikap positif terhadap membaca yang akan berperan
penting membentuk budaya membaca.
Saya justru
menghindari mengajari anak agar terampil membaca sebelum usia 7 tahun. Dari
berbagai riset dan pengalaman berbagai negara maju, pembelajaran membaca secara
formal sebaiknya dimulai usia 7 tahun. Jika anak lancar membaca sebelum masuk
sekolah dasar, itu semata karena anak sangat tertarik membaca sehingga akhirnya
terdorong untuk belajar membaca.
Lebih baik
terampil membaca belakangan, tetapi minat baca sangat besar dan rasa ingin tahu
terhadap ilmu begitu tinggi daripada lancar membaca saat masih TK, tapi baru di
sekolah menengah saja gairah mereka membaca sudah tidak ada. Ini bisa terjadi
manakala kita hanya sibuk mengajari membaca. Bukan membuatnya tertarik.
Saya tidak
berpanjang-panjang dengan masalah ini. Kembali pada pengalaman mengasuh anak
agar suka membaca. Jika pada anak pertama dan kedua kami memang berusaha keras
agar dapat membelikan buku-buku yang khusus dirancang untuk anak, belakangan
kami lebih menekankan pada bagaimana anak akrab dengan suasana membaca.
Sehari-hari anak melihat bahwa membaca itu asyik,membaca itu membuka wawasan
dan menambah pengetahuan, membaca itu jalan untuk meraih ilmu yang bermanfaat.
Medianya tak harus buku yang khusus dirancang untuk anak. Kami menceritakan apa
saja yang kami baca, berdiskusi atau merisaukan apa yang dibahas di
surat kabar maupun buku, dan kadang melibatkan anak dalam pembicaraan penting
yang ada di buku. Kami sering menjadikan buku sebagai acuan; sumber rujukan. Di
samping itu, anak memang akrab dengan buku. Di mana-mana ada buku; ruang tamu,
kamar pribadi, ruang tengah, mobil dan tas untuk bepergian ada buku. Ini
memberi “pesan” kepada anak bahwa buku itu penting.
Pada anak-anak
berikutnya, kami membacakan tidak secara khusus buku untuk anak seusianya.
Dalam buku Membuat Anak Gila Membaca, memang kami sempat membahas bahwa
kita perlu membacakan buku benar-benar sesuai usianya. Tapi dalam
perkembangannya, kami mendapati tidak demikian. Menjadikan anak suka membaca
tidak harus dengan mengeluarkan uang besar untuk membeli buku-buku eksklusif.
Yang paling penting adalah kesediaan kita mendampingi anak membaca. Itu
sebabnya, buku ini untuk sementara dihentikan peredarannya. InsyaAllah setelah
revisi akan kembali terbit di Pro-U Media, Yogyakarta.
Ada memang
sejumlah buku yang “khusus anak usia balita”. Ini sisa kakaknya, meskipun sudah
banyak yang sobek. Ada juga hadiah. Tapi yang paling penting adalah
mengakrabkan dan menjadikan anak merasa bahwa buku sangat berharga. Ini akan
lebih mudah lagi manakala di rumah tidak ada TV.
Jika untuk
menjadikan anak suka membaca tak harus berbiaya tinggi, mengapa kita harus
grogi sebelum memulai? Koran bekas, kertas yang sudah tak terpakai dan buku apa
pun yang bagus isinya meskipun seakan bukan untuk anak, semuanya merupakan
media mengenalkan membaca kepada anak sekaligus menjadikan mereka suka baca.
Murah bukan?
*) Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku ‘Segenggam
Iman Anak Kita’

Post a Comment