Ketika Marah pada Anak
Oleh Suhartono
Seorang ibu nampak
terlihat begitu lelah usai mengepel lantai. Tak lama kemudian, datang anak
pertamanya yang baru berusia lima tahun. Sang anak menginjak lantai yang masih
basah. Kontan saja sang ibu langsung mama marah besar, “Aduh…kamu ini bagaimana
sih…? Gak tahu apa kalau ngepel itu capek? Sekarang kotor lagi gara-gara kamu
injak. Mama kan sudah bilang tunggu di luar sampai lantainya kering,” berondong
sang ibu dengan volume suara yang sangat keras.
Pada suatu saat,
ada seorang psikolog, memberikan tes pada seorang anak. Anak ini diberi sebuah
kartu olehnya dan ditanya, “Kira-kira ini gambar apa ya?“. Jawabannya, “Gambar
monster, Bu”. Setelah kegiatan selesai, ia memberi penjelasan. Ternyata
kartu itu mewakili sosok ayah. Artinya ayah bagi anak ini adalah sosok monster
yang sangat menakutkan. Karena setiap ayahnya pulang bekerja, bukan kehangatan
yang diterimanya, melainkan perlakuan tidak baik. Ayahnya berkata, “ Sana main
di luar, jangan berisik di sini! Ayah capek baru pulang kerja,” dengan nada
ketus dan suara keras.
Dari beberapa
peristiwa di atas, sepertinya hari-hari yang dilalui oleh anak-anak ini
dipenuhi dengan nuansa kemarahan. Tahukah kita bahwa penelitian mutakhir mengatakan
bahwa setiap bayi baru dilahirkan, memiliki milyaran sel otak. Anak yang cerdas
adalah anak yang memiliki banyak sambungan antara sel otak yang satu dengan sel
otak lainnya.
Seorang ibu yang
juga seorang peneliti, melakukan penelitian perkembangan otak bayinya sendiri.
Sebuah alat khusus dipasang di kepala bayinya. Kemudian alat itu dihubungkan
dengan kabel-kabel komputer. Sehingga dia bisa melihat pertumbuhan sel otak
anaknya melalui layar monitor. Ketika bayinya bangun, dia memberikan ASI. Ketika
bayinya minum ASI , dia melihat gambar-gambar sel otak itu membentuk rangkaian
yang indah. Ketika sedang asyik menyusui, bayi yang berusia 9 minggu itu,
tiba-tiba menendang kabel komputer. Si ibu kaget dan berteriak, “No”!
Teriakan si ibu
membuat bayinya kaget. Saat itu juga, si ibu melihat gambar sel otak anaknya
menggelembung seperti balon, membesar dan pecah. Kemudian terjadi perubahan
warna yang menandai kerusakan sel. “Mungkin kesedihan ini hanya saya yang
menanggungnya. Sebagai ibu dan sekaligus sebagai scientist, saya menyaksikan
otak anak saya hancur oleh teriakan saya sendiri, ibunya,” tukas Lise Eliot,
PhD, seorang Neuroscientist di Chicago Medical School dalam bukunya What’s
Going On in There? How the Brain and Mind Develop in The First Five Years of
Life (Bantam, 2000).
Nah, apa yang
terjadi jika seorang anak setiap detik, menit, jam dan hari-hari yang
dilaluinya selalu dipenuhi dengan pelototan, teriakan, apalagi ditambah amarah?
Tak terbayangkan berapa jumlah sel otaknya yang akan mati akibat perlakukan
buruk orang dewasa di lingkungannya.
Kita acapkali
tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang
menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan,
tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang,
tetapi kita harus terus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak, utamanya
saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan
membelalak. Jika tidak, teguran kita tidak akan efektif. Bahkan, bukan tidak
mungkin mereka justru semakin menunjukkan “kenakalannya”.
Sekali lagi,
betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan
emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi
mereka. Ya, kita harus sungguh-sungguh berupaya agar teguran kita tetap
terkendali dan tetap terkontrol.
Semoga
catatan ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
*) Suhartono, Pendidik, tinggal di Yogya


Post a Comment