Cerdas di Rumah : Merenungkan Komunikasi Kita Dengan Anak
![]() |
| google.com |
Oleh M. Edy Susilo
Bila diamati secara mendalam, maka
dapat diketahui bahwa kita tidak pernah berhenti berkomunikasi. Komunikasi
terus dilakukan bahkan ketika kita diam. Dalam diam, orang masih bisa ‘membaca’ ekspresi wajah, sorotan mata
atau gesture kita.
Dalam kajian komunikasi, bagaimana menyampaikan pesan, tidak kalah penting
dengan apa yang disampaikan. Dua buah
kalimat yang sama, bisa memiliki makna yang berbeda jika diucapkan dengan cara
yang berbeda.
Namun, justru karena setiap saat dilakukan, kadang kita menjadi
abai dengan komunikasi, termasuk ketika berkomunikasi dengan anak. Nah, berkomunikasi
dengan anak lebih unik lagi karena mereka belum memiliki kompetensi komunikasi
seperti halnya orang dewasa. Orang tua perlu memberi perhatian ekstra ketika
berkomunikasi dengan anak.
Alih-alih lebih peduli, banyak orangtua
yang menganggap sepele komunikasi dengan anak. Berikut ini adalah beberapa
buktinya:
Pertama, penggunaan “nada dasar”
yang terlalu tinggi. Nada suara yang tinggi, dalam banyak budaya, sering
menimbulkan persepsi bahwa komunikator sedang marah, meskipun sebenarnya belum
tentu. Apabila sedang mengobrol biasa saja nadanya sudah tinggi, bagaimana
kalau sedang marah? Berbicara dengan
nada tinggi juga bisa “menular” pada orang lain, termasuk kepada anak.
Mereka akan belajar bahwa untuk
menyampaikan sesuatu harus dilakukan dengan nada tinggi. Akibatnya, suasana
rumah akan menjadi tidak nyaman, karena sebentar-sebentar terdengar lengkingan
dan teriakan.
Kedua, penggunaan pesan verbal
yang bertentangan dengan pesan nonverbal. Pada kondisi umum, pesan nonverbal
biasanya melengkapi atau menegaskan pesan verbal. Tetapi ada kalanya orang
menggunakan pesan verbal yang berlawanan dengan pesan nonverbal. Sebagai
contoh, seorang ibu meminta anaknya untuk pergi ke masjid, namun cara
menyampaikan, mimik muka, bahasa tubuh, terkesan tidak serius atau asal-asalan.
Dalam kondisi itu, manakah yang akan diikuti oleh anak? Jangan kaget jika anak
lebih ‘percaya’ pada pesan nonverbal.
Apalagi, ketika anak benar-benar tidak pergi ke masjid, tidak ada tindakan apa
pun dari sang ibu.
Ketiga, memberi respon negatif secara berlebihan dan
jarang atau tidak pernah memberi
penguatan positif. Sebagai contoh, ketika anak-anak sedang bermain, orangtua
sering khawatir dan berteriak, “Awas, awas, awas...”. “Jatuh, jatuh,
jatuh.....”. Minimal ada tiga kata dalam satu ucapan.
Tetapi
apakah orangtua juga akan memberikan penguatan positif ketika anak berperilaku
yang baik atau berprestasi? Kenyataannya banyak orangtua yang pelit memberikan
respon positif pada anak. Bila ‘timbangan’ respon negatif lebih berat
dari dari pada respon positif, dan dalam jangka waktu yang lama, apa yang akan
terjadi pada anak? Saya kira, pembaca lebih bijaksana untuk menjawab pertanyaan
ini.
Keempat, melebih-lebihkan keadaan.
Misalnya seorang ibu marah kepada anak-anaknya yang bermain di dapur. “Waduh, tumpah semua bumbu ibu. Lihat tuh, tuh, tuh....” teriaknya dengan muka
tegang. Benarkah bumbunya tumpah semua? Jangan-jangan yang jatuh ke lantai cuma
beberapa butir bawang atau sejumput
merica. Hal yang amat mudah dan cepat dirapikan kembali.
Ketika
anak memecahkan gelas, orangtua menghardik, “Pecah lagi, pecah lagi. Habis
sudah semua gelas kita...”. Sekali lagi, pertanyaannya, benarkah semua gelas
sudah habis? Kemungkinan besar, tidak. Si orangtua hanya sedang memuaskan nafsu
untuk memarahi anak. Di sini anak mendapat paling tidak dua hukuman, pertama
perasaan takut karena telah memecahkan gelas; kedua, ia mendapat beban berat
karena menjadi penyebab habisnya gelas-gelas di rumah itu.
Dalam
agama Islam, ada banyak tuntunan bagaimana komunikasi yang baik. Salah satunya
ada pada QS Thaha: 44, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. Ayat ini turun
ketika nabi Musa dan Harun hendak pergi untuk menemui Fir’aun yang kejam.
Kalau
kepada sosok yang bengis saja, mereka diminta untuk berbicara dengan kata-kata
yang lemah lembut, apalagi kalau kita berbicara kepada anak-anak yang masih
polos? Wallahua’lam
*) M. Edy Susilo, Dosen Komunikasi Universitas
Pembangunan Nasional Yogyakarta | Redaktur Majalah Fahma


Post a Comment