Mas Jazir: Dari Romo Mangun Sampai Masjidil Aqsha (Bagian Kedua)



Oleh Dzikrullah W. Pramudya 

Masjid Hijau dan Partai Merah
Bagian ini susah untuk ditulis, bukan karena soal aman atau tidaknya, tapi justru karena sangat multiversal-nya pergerakan Mas Jazir antara Islam yang Mahaluas, Nasionalisme dan Sosialisme-Komunisme. 


Beliau hidup di Jogokariyan yang di tahun 1960-an adalah kampung merah alias _stronghold_-nya pendukung PKI. Bahkan  diceritakan, sering di Jogokariyan digelar lakon tradisional dengan judul sejenis “Matine Gusti Allah” (Matinya Tuhan Allah). Pelakonnya para aktivis Pemuda Rakyat, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang semua underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ikhwan di Masjid Jogokariyan pasti punya riwayat lebih rinci tentang bagaimana Mas Jazir tumbuh sejak remaja sampai jadi pemuda yang digembleng memiliki aqidah dan fikrah yang tangguh di tempat seperti itu. Penulis hanya kebagian bertemu Mas Jazir yang sudah matang dan kokoh. 

Kematangan dan kekokohan itu biasanya diuji di saat api berkobar hebat. Tahun 2001, api aftermath pergolakan politik Indonesia masih belum padam. Ambon membara. Tual hangus. Poso mendidih. Darah kaum Muslimin dan Kristen tumpah. Banyak yang sadar, bahwa ini semua kerjaan tangan-tangan siluman yang puluhan tahun sebelumnya berkuasa di negeri ini, dan sangat terlatih memperpanjang kekuasaan dengan membakar titik-titik sensitif bangsa ini. Tapi di saat yang sama, bagi kaum Muslimin, membela darah dan nyawa saudara pun suatu ujian yang harus dijawab. 

Tahun-tahun itu, bangsa kita dicekik oleh dilemma yang berat, antara membela keluarga seagama yang dibantai dan mempertahankan keutuhan Indonesia rumah bersama semua orang yang sama-sama kita cintai sebagai warisan para Mujahidin dan Syuhada. 

Penulis bolak balik ke Jogokariyan dan menyaksikan bagaimana Mas Jazir menjalankan peran alamiahnya sebagai pemimpin anak-anak muda aktivis Muslim sekaligus sebagai pemikir Nasionalis antara tahun 1999 sampai 2004. 

Diantara peristiwa yang paling menggambarkan posisi beliau itu terjadi di sekitar tahun 2002. Paginya kami ngobrol, sorenya penulis diajak menemani beliau berceramah di depan pengurus dan kader-kader PDIP Bantul, malam harinya mendatangi rumah seorang kader Gerakan Pemuda Ka'bah-nya PPP yang dibakar massa PDIP. Kocak tapi menyedihkan.

Waktu itu, "War on Terror" yang sedang jadi mainan Presiden USA George W. Bush dan sekondannya  sedang laris-larisnya menjadi industri global. Mulai dari produksi dan marketing alat perang  yang meningkat drastis, lewat pengkondisian koalisi multinasional "either you are with us or with the terrorists", sampai program-program deradikalisasi, liberalisasi agama, moderasi dll. yang dilatahi negeri-negeri lemah sebagai bancakan oknum-oknum bermata duitan yang menangkap peluang-peluang kucuran dollar. Jadi, dituduh fundamentalis, radikal itu sama dengan dituduh teroris. Alhamdulillah, sekarang jualan itu tak laku. Meski rasa-rasanya sedang ada yang mau coba buka lapak lagi. Doakan bangkrut sebelum dibuka.

Kalau Iya, Kenapa?
Jadi di tahun 2002, di teras rumah yang sama, Mas Jazir bercerita sambil menyuguhi teh _nasgitel_, "Beberapa hari lalu seorang wartawan Swedia kesini mewawancarai saya, mencecar saya: 'Kami dapat banyak informasi bahwa Anda ini salah satu simpul fundamentalisme dan kekerasan agama di Yogyakarta. Apa benar?"

Khayalkan, di tahun-tahun itu, kalau seorang Ketua Ormas Islam ditanya begitu, kemungkinan besar akan membantah dan berusaha menjawab dengan narasi-narasi 'moderat', 'inklusif', dan 'toleran'.
Jawaban Mas Jazir bikin penulis melongo lalu kami ngakak berdua, "Mas jawab apa?"
"Saya bilang, kalau iya, memangnya kenapa?" kata Mas Jazir sambil mengunyah kacang dari toples di depannya.
Gubrak!

Setelah tawa kami mereda, penulis bertanya lagi, "Lalu dia bilang apa?"
Mas Jazir, "Saya nggak peduli dia bilang apa. Wong apa pun jawaban kita pasti dia pakai memojokkan umat Islam kok."
Mas Jazir melanjutkan, "Dia (wartawan Swedia itu) terus mendesak, apa benar Anda mengirim anak-anak muda berjihad ke Ambon? Apa benar Anda ingin melaksanakan syariat Islam di Indonesia? Apa benar menurut Anda Pancasila harus di-Islam-kan...?"

Mas Jazir, "Iya benar, saya mengirim anak-anak muda ke Ambon. Memangnya kenapa?"

"Iya benar, Syariat Islam sudah ada di Indonesia sebelum Republik ini berdiri dan masih terus berjalan bahkan menjadi bagian dari dasar negara ini. Anda tahu nggak, Pancasila itu isinya syariat Islam semua? Jadi Pancasila tidak perlu di-Islam-kan, memang landasan pemikiran Pancasila itu nilai-nilai Islam."

Wartawan Swedia itu mencecar lagi, "Anda fundamentalis ya?"
Mas Jazir, "Kalau iya kenapa? Anda maunya kami jadi Muslimin yang tidak keras, lembek, supaya mudah ditindas dan dibunuhi kan?"

Jawaban-jawaban itu bisa ditiru, bunyi dan kata-katanya, tapi tidak getarannya. Mas Jazir menjawab itu dengan logat Jawa, tapi saya bayangkan, jawaban itu wujud dari kokohnya batu karang Iman Akal merdeka, yang akan membuat lidah-lidah jahil kelu dan akal-akal terjajah macet.

Sorenya penulis diajaknya ke Bantul. "Acara apa Mas?" tanyaku.
"PDIP Bantul minta saya ceramah tentang Pancasila dan Warisan Pemikiran Bung Karno," jawabnya santai.

Di situlah pertama kalinya saya mendengar orang memanggilnya "Kiai", dan pertama kalinya saya menyaksikan Mas Jazir mengorasikan pidato-pidato Bung Karno sampai titik komanya.
Belakangan baru saya tahu, Mas Jazir hafal tidak kurang dari 16 pidato Presiden Pertama RI itu dari zaman sebelum kemerdekaan sampai sesudahnya.
Ibaratnya Al-Quran, beliau "pemegang sanad" pemikiran Bung Karno sampai ke _makhraj_, tajwid dan nada-iramanya.

Tak heran kelak Mas Jazir diangkat jadi Tim Ahli di Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada. Asli.

Rumah Kader Dibakar
Pulang dari Bantul pas adzan maghrib. Baru selesai solat, dua orang pemuda mendatangi beliau, tenang tapi agak tegang, berbisik, "Mas, rumahnya Kang .... (tidak begitu jelas namanya) _wis diobong_... (sudah dibakar)." 
Wajah Mas Jazir tidak berubah sama sekali. Seakan itu peristiwa yang sudah dijadualkan dalam perkiraannya. "_Cahe piye_.. (orangnya bagaimana)?" tanyanya.
"Selamet, keluarganya ngungsi"

Sejak Reformasi 1998, Pemilu 1999, dan konflik Ambon berkobar Idul Fitri 1999, Indonesia memang tegang. Percikan sedikit bisa meledak. Malam itu saya diajak Mas Jazir berjalan kaki sekitar 1 kilometer dari Jogokariyan mendatangi rumah salah satu pemuda binaannya, tokoh Gerakan Pemuda Ka'bah ubderbouw PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang merupakan fusi 4 partai Islam, Parmusi (kelanjutan Masyumi), NU, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) di tahun 1973.

Secara alamiah lawan dari GPK adalah pemuda PDIP fusi dari partai-partai Nasionalis, Soekarnois, Katolik, Kristen dan kelak anak keturunan PKI. Di Jogja tawuran dan pembakaran antar keduanya biasa terjadi di masa itu. Apa lagi konflik Ambon menambah panjang faktor ketegangan. Belakangan kalau dipikir-pikir, satu-satunya yang beruntung dari perseteruan itu ya tangan-tangan siluman yang sama, yang tega menggunakan konflik antarwarga itu sebagai alat menekan siapapun yang mendapat jabatan publik resmi, agar manut pada agenda-agendanya.

Rumah itu masih berdiri tembok dan atapnya, tapi hangus total, tak tersisa dalamnya. Ada garis polisi, tapi Mas Jazir menemui pemilik rumah. Seorang ayah muda yang bertubuh langsing tapi kekar, wajahnya dingin. Tidak kelihatan sedih sama sekali. Hanya terdengar Assalaamu'alaykum, tak ada jabat tangan. Keduanya, penulis dan beberapa pemuda masuk ke dalam rumah, meski ada garis polisi. Tak ada petugas berseragam, tapi di dekat rumah itu ada dua tiga orang petugas reserse. Isi rumah basah siraman pemadam, tapi sudah gosong semua. 

Mas Jazir hanya memastikan keluarga si Pemilik rumah tidak cidera, menepuk pundak Kang ... tadi, lalu mengajak saya pergi. Sepanjang jalan kembali ke Jogokariyan kami berdua hanya diam.  

Wartawan Australia
Tahun 2004, penulis dan istri mendapat amanah dari John Wallace, seorang wartawan senior Australia, untuk menjalankan sebuah program tour berjudul "Journey into Islam in Indonesia". John itu Direktur Eksekutif APJC (Asia Pacific Journalism Center), pernah jadi coach di The Jakarta Post sebelum reformasi. Dia meminta kami mengatur perjalanan 10 wartawan Australia mengenal lembaga, organisasi, pesantren dan tokoh-tokoh Islam. Dengan bus kita  mulai dari Masjid Ampel Surabaya berakhir di Masjid Istiqlal Jakarta. Di Gontor bertemu KH Syukri Zarkasyi, di Bandung bertemu Aa Gym, kami ajak juga mereka ke Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, di Jogja bertemu Mas Jazir. 

Di depan para wartawan itu, Mas Jazir menjelaskan butir-butir pemikiran Islam dalam Pancasila sebagai rumusan yang disepakati Para Ulama dan tokoh bangsa ini, sehingga lebih dari 300 suku bangsa Indonesia di belasan ribu pulau dan laut yang sangat luas ini, dan berbagai penganut agama, sepakat untuk bersatu dalam sebuah republik, bukan kerajaan.

Pesan inti yang disampaikan Mas Jazir kepada para wartawan itu, di Indonesia bisa terjadi Konflik Ambon, Bom Bali, dan lain-lain. Tapi jauh di lubuk pikiran dan dasar hati bangsa Indonesia, "Kami meyakini bahwa bangsa dan negeri ini adalah amanah Allah yang harus dijaga dengan ketaatan kami kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dengan Musyawarah yang melibatkan seluruh anak bangsa."

Sebagian wartawan itu merasa terbuka wawasannya tentang Islam dan Muslimin Indonesia. Beberapa diantara tetap negatif.

(In syaa Allah, bersambung)

Powered by Blogger.
close