Mas Jazir: Dari Romo Mangun Sampai Masjidil Aqsha (Bagian Pertama)
Oleh Dzikrullah W. Pramudya
Perkenalan pertama penulis dengan Ust. Muhammad Jazir, ASP terjadi di album foto, pertengahan tahun 1988. Foto-foto itu sederhana tapi kisah yang diantarkannya heroik dan tak terlupakan, setidaknya bagi remaja seperti penulis saat itu. Perkenalan berikutnya berjumpa langsung di rumahnya, Desember 1988.
Salah satu keasyikan bekerja sebagai anak bawang Tim Redaksi Majalah _Suara Hidayatullah_ sejak edisi ketiga bulan Juli 1988 adalah memandangi satu demi satu, ratusan foto cetak yang merekam kegiatan dakwah berbagai gerakan Islam di masa-masa sebelumnya. Waktu itu belum ada foto digital, semua di-afdruk dari film dan dicetak.
Oh ya, disebut “anak bawang” karena waktu itu penulis masih duduk di bangku kelas 2 SMA Muhammadiyah 2, Pucang, Surabaya. Siang sepulang sekolah, lalu malam sampai pagi nyantri di pesantren mahasiswa Hidayatullah Jl. Gebang Lor No. 49, Sukolilo di dekat kampus ITS. Sebagai siswa-santri, penulis ditugaskan membantu para senior mengerjakan majalah, tata letak dan redaksinya.
Salah satu dokumentasi yang paling mengesankan ialah dua album kecil berisi foto-foto seorang pemuda tinggi gagah, nampak selalu bersama seorang pria paruh baya. Rambut pria paruh baya itu lurus rapi hampir putih semua, berkumis dan berjenggot, hampir putih semua juga, berkacamata tebal. Pemuda gagah tinggi itu selalu terlihat menggunakan jaket warna hijau tua tentara, pria paruh baya itu selalu mengenakan kemeja batik lengan pendek.
Foto-foto itu diambil di beberapa desa, kadang mereka berdua saja, kadang bersama warga. Ada yang sedang duduk ngobrol, ada yang sedang kerja bakti bersama warga, ada yang sedang menyantap makanan atau minuman. Ada yang di dalam ruangan, di teras rumah warga, di amben, ada yang di antara hutan bambu atau kebun di tanah yang kering.
Tapi foto mereka tanpa senyum. Tidak ada satupun di foto itu menunjukkan pemuda dan pria paruh baya itu tersenyum. Baik sendiri maupun berdua. Mengapa?
Karena pemuda tinggi gagah itu bersama teman-temannya dari Angkatan Muda Masjid (AMM) sedang sengaja menempeli pria paruh baya yang tengah menjalankan misi Katoliknya. Keduanya kelak tertulis dalam sejarah Indonesia sebagai orang-orang terkenal karena karyanya.
Pemuda itu Muhammad Jazir, aktivis rakyat, da’i, pemikir, sarjana hukum, sarjana tarbiyah, pekerja sosial, pengembang masyarakat, dan seorang pemikir Pancasila. Sedangkan pria paruh baya itu adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang di tahun-tahun itu dikenal sebagai Romo Mangun, aktivis rakyat, misionaris Katolik, sastrawan, pemikir, arsitek lulusan Jerman, kolumnis.
Anak zaman sekarang yang sempat menikmati film Ainun-Habibie pasti menyaksikan adegan Habibie dan Romo Mangun ngobrol di kursi sebuah gereja di Jerman. Ya, keduanya belajar di RWTH Aachen University (Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule) di tahun-tahun yang sama.
“Jadi Romo Mangun membikinkan sumur-sumur air bersih untuk warga Gunung Kidul yang di awal tahun 1980-an itu mengalami kekeringan sangat panjang,” kenang Mas Jazir sambil menyuguhi teh _nasgitel_ suatu kali di teras rumahnya. “Kami sebagai mahasiswa aktivis masjid merasa terpanggil ikut mendampingi, terutama untuk mengawal aqidah warga desa.”
Maklum di tahun-tahun itu, gerakan Kristenisasi yang memurtadkan warga Muslim di desa-desa dan kawasan miskin kota sedang sangat gencar.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sampai menerbitkan buku berjudul “Fakta dan Data Kristenisasi di Indonesia” yang merupakan kumpulan laporan dan investigasi bulanan Majalah Media Dakwah.
Maka, tutur Jazir, selain para aktivis dakwah kampus juga mengangkut mobil-mobil tangki air minum ke desa-desa, setiap kali Romo Mangun selesai membangun sumur, “Begitu sumur itu diserahkan kepada warga, saat itu juga kita maju ke depan ikut memberi sambutan, ‘Bapak-bapak Ibu-Ibu warga desa sekalian, kita berterima kasih kepada Romo Mangun yang sudah berbaik hati. Kita lanjutkan syukur kita kepada Allah atas hadirnya sumur ini, dengan peletakan batu pertama pendirian musholla di tempat ini. Semua warga bebas mengambil air di sini, dan kita beribadah kepada Allah sebagai syukur kita.” Uang pembangunan musholla, kata Mas Jazir, dicarikan dari para donatur di Jogja dan berbagai kota.
Itulah perkenalan pertama kami dengan Mas Jazir, lewat foto-foto perjalanannya di Gunung Kidul bersama Romo Mangun. Belum ketemu langsung sudah bikin kagum.
Sebuah tugas jurnalistik mengantarkan perjumpaan pertama kami dengan Mas Jazir. Desember waktunya liburan semester. Tapi santri yang sedang dikader, waktu itu tidak ada istilah ‘liburan’ yang ada “tugas dakwah ke rumah orang tua”.
Sebelum ke rumah orang tua, penulis diberi tugas reportase. “Pergi ke Jogja, temui Ustadz Jazir di Jalan Jogokariyan, sampaikan salam dari saya. Bilang, bahwa kamu ditugaskan mewawancarai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah KH AR Fachruddin, Dr. Jamaluddin Ancok, dan Dr. M. Amien Rais,” demikian perintah Ustadz Hamim Thohari, Redaktur _Suara Hidayatullah_ waktu itu kepada reporter berusia 16 tahun, yang masih nyambi SMA.
Tiba dari Surabaya di Terminal Bus Umbulharjo, azan subuh baru berkumandang di langit Jogja. Setelah solat di musholla, dan bertanya entah kepada siapa dan naik apa menuju Jalan Jogokariyan, dengan izin Allah kami tiba di rumah Mas Jazir. Beliau kawan seperjuangan sesama aktivis dakwah kampus dengan para senior kami, Ustadz Hamim dan Ustadz Abdurrahman.
Karena waktu itu belum ada telefon seluler, belum ada pesan pendahuluan, tapi Mas Jazir sama sekali tidak kelihatan kaget menerima kami. Setelah mendengar penjelasan tentang maksud kami ke Jogja pun beliau terlihat biasa saja. Hanya tersenyum. Mungkin sesama aktivis sudah saling faham, begini lah cara mereka menggembleng para remaja. Kasih tugas yang susah, sampai berhasil. Setelah menyuruh mandi dan menyuguhi sarapan, Mas Jazir menjelaskan kendaraan umum menuju ke tiga tokoh tadi, tanpa bikin janji sebelumnya.
Alhamdulillah, entah bagaimana cara Allah, seharian itu sampai sore, ketiga tokoh terkenal itu berhasil kami wawancarai. Senyum Mas Jazir semakin lebar, ketika sore hari menyambut kami kembali di rumahnya. Tak tahu lah apa yang ada dalam pikirannya, tapi rasanya beliau senang juga.
Selepas Isya, ditemani putra sulungnya Shofwan Al Banna Choiruzzad (waktu itu baru berusia 5 tahun, sekarang sudah akan jadi guru besar ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia), Mas Jazir mengantarkan kami makan bakso di dekat stasiun Tugu, untuk kemudian melepas kami naik kereta melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Yang paling mengesankan, cara beliau memeluk kami. Sangat erat, dan agak diangkat setinggi tubuhnya, sampai kami terpaksa berjinjit.
Gaya pelukan yang sama kami terima di Masjid Al-Falah, Surabaya, sehari sebelum Musyawarah Nasional BKPRMI (Badan Kerjasama Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia) kelima tahun 1989.
Penulis meliput acara itu dan mencari-cari Mas Jazir di ruang para pimpinan Munas. Begitu bertemu, beliau menyambut seperti kawan lama. Cara beliau memeluk dan menyambut, membesarkan jiwa seorang reporter remaja yang masih bau kencur.
Mas Jazir kemudian memanggil tokoh-tokoh terpenting BKPRMI waktu itu Abdurrahman Tarjo, Fajri Gumay, Yamin Amna dan banyak yang lain, memperkenalkan penulis agar mereka mudah untuk diwawancarai. Alhamdulillah, Munas itu menjadi peristiwa bersejarah, dengan izin Allah, dan diantaranya karena atas perjuangan Mas Jazir, dicanangkan lah Gerakan Nasional Pendirian Taman Pendidikan Al-Quran dan TK Al-Quran ke seluruh Indonesia, didukung oleh Menteri Agama Prof. Munawir Syadzali dan Menteri Penerangan Harmoko.
Apa istimewanya gerakan ini? Sekarang TPQ dan Rumah Quran ada di mana-mana di seluruh Indonesia. Biasa saja.
Jangan salah. Sekarang memang sudah biasa. Tapi tahun 1989 dan sesudahnya adalah tahun-tahun berakhirnya penindasan atas gerakan dakwah yang selama paruh awal kekuasaan Presiden Soeharto dijalankan oleh penguasa-penguasa intelijen dan keamanan yang sangat memusuhi dakwah. Jilbab dilarang di sekolah dan kampus negeri. Pengajian dicurigai. Para ulama dan da’i diteror, ditekan. Partai politik berbasis massa Islam dilemahkan. Pembicaraan tentang pendirian bank Islam dan ekonomi syariah dicurigai, dihalangi. Nanti belakangan kita menyadari, bahwa yang ditindas waktu itu bukan cuma dakwah tapi semua yang kritis terhadap penguasa (kok kedengarannya akrab dengan zaman yang baru saja berlalu ya..?).
Maka apa yang dicanangkan di Munas kelima BKPRMI itu memang istimewa. Terutama karena Mas Jazir salah satu penggagasnya sejak beberapa tahun sebelumnya memang sudah mendampingi KH As’ad Humam, penulis buku IQRO’. Mas Jazir menggerakkan AMM dan BKPRMI di Daerah Istimewa Yogyakarta dan berbagai daerah lainnya meng-IQRO’-kan masyarakat. “Dengan gerakan Taman Pendidikan Al-Quran ini kita menyemai benih generasi baru Indonesia yang lebih berakal jernih dan berakhlaq mulia,” katanya waktu itu.
Gerakan itu bahkan menyeberang ke negeri tetangga, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Waktu itu, banyak pemuda-pemudi Indonesia pengajar Al-Quran dikirim dan bermukim di negeri-negeri itu sampai belasan bahkan puluhan tahun sesudahnya. Penulis menemui dan mewawancarai beberapa di antara mereka bertahun-tahun setelahnya di Bandar Seri Begawan, Kota Kinabalu dan di Pattani.
Jikalau Rasulullah ï·º menjanjikan 10 pahala bagi setiap huruf Al-Quran, kira-kira berapa komisi pahala yang didapat oleh Allahyarham Mas Jazir dari gerakan nasional taman pendidikan Al-Quran yang beliau perjuangkan bersama teman-temannya? Semoga Allah terima dan ridho.
(Bersambung, in syaa Allah)


Post a Comment