Serenada Pipit Senja

Kepergihan pejuang pena, Pipiet Senja, membuka mata dan telinga para penggemarnya. Berikut yang disampaikan oleh A. S. Laksana dalam akun FB nya

Oleh A.S. Laksana
Saya membaca satu novelnya di masa kanak-kanak dan menyukai novel itu dan terus mengingat nama penulisnya sampai sekarang. Judulnya apa, saya lupa. Tetapi saya menyukainya karena novel itu membuat saya menangis. Di masa kanak-kanak saya menyukai novel-novel yang membuat saya menangis. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya mulai membaca Rendra, saya pernah melakukan pencarian sia-sia terhadap satu judul puisinya. Rendra menulis beberapa puisi berjudul Serenada dan saya heran kenapa tidak ada “Serenada Cinta” di semua kumpulan puisinya, padahal saya yakin pernah membaca puisi berjudul itu. Jika bukan Rendra, siapa yang menulis puisi itu? Pipit Senja. Pipit menulis banyak buku, ratusan jumlahnya, dan salah satunya berjudul “Serenada Cinta”. Mungkin ini novelnya yang saya baca, sebab judul itu tersimpan lama di kepala saya tanpa saya tahu dari mana asalnya. Etty Hadiwati Arief, yang menamai dirinya Pipit Senja, lahir di Sumedang pada 16 Mei 1956. Sejak remaja ia mulai menulis, dan untuk selanjutnya ia terus menulis. Pada umur sembilan ia diketahui mengidap thalassemia, kelainan darah bawaan yang mengganggu pembentukan hemoglobin sehingga penderitanya mengalami anemia kronis, dan harus transfusi darah seumur hidup. Ia bertahan hidup dengan kasih, mengalahkan diagnosis yang meramalkan umurnya tidak bakalan panjang. Ibunya menjual semua mahar pernikahan—cincin, gelang, kalung—demi biaya pengobatan. Ayahnya, bekas pejuang ’45, sering membawa teman-teman seperjuangannya ke rumah sakit untuk menyumbangkan darah. “Kubayangkan itu darah, yang kebanyakan dari prajurit TNI, sudah sekolam jika dikumpulkan, atau mungkin sedanau,” tulisnya dalam catatan ulang tahun ke-69 tahun ini, setelah 60 tahun transfusi. Hidupnya tak pernah mudah dengan penyakit dan obat-obatan, dan tidak menjadi lebih mudah setelah ia berumah tangga. Mertua tinggal serumah dengannya, selalu menyesalkan bahwa putra mereka tidak menikahi perempuan sesuku, dan suaminya kemudian sering melakukan kekerasan. Ia bertahan dengan semua itu, dan terus menulis. Dengan kondisi tubuhnya yang ringkih dan berbagai penyakit susulan sebagai efek samping konsumsi banyak obat sejak kecil, ia melahirkan anak pertama, Haekal Siregar, dan sembilan tahun berikutnya anak kedua, perempuan, Azimattinur: benteng cahaya. Dua perawat, lelaki dan perempuan, sempat mendorongnya ke kamar mayat. Itu terjadi pada 1990. Menjelang tengah malam waktu itu. Ruangan UGD dipenuhi korban keracunan biskuit—dari Jakarta, Serang, Banten, Bekasi, Karawang—dan sudah banyak yang meninggal di ruangan itu. Di lantai berceceran muntah; orang-orang menangis; nyamuk dan lalat; ia berada di antara mereka, kandungannya 32 pekan, dan tidak ada keluarga yang datang untuk mengurus pemindahannya ke ruang perawatan. Tidak tahan oleh nyamuk dan lalat, ia menutup sekujur tubuhnya dengan mukena, merasa tenang dengan zikir dan doa, dan tertidur tak lama kemudian. Ia terbangun ketika merasakan brankarnya bergerak. Dua perawat yang mendorongnya berlari ketakutan saat ia membuka mukena yang menutup tubuhnya. Mereka mengira ia sudah mati dan hidup lagi dalam perjalanan ke kamar mayat. Pada 2013, di usia 57, ia memutuskan bercerai dari suaminya. Kedua anaknya sudah berumah tangga; Haekal sudah mencicil rumah di Citayam dan Azzimattinur belum lama menikah dan masih menumpang di rumah dinas mertua di Halim. Karena harus rutin ke RS Cipto Mangunkusumo, ia menumpang di rumah dinas besannya. Tapi ia harus menulis. Tidak mungkin ia tidak menulis. Sebelum perceraian, ia menulis karena harus membiayai pengobatannya sendiri. Suaminya hanya memberi uang belanja dan kebutuhan anak-anak. Bahkan ketika sedang dirawat di rumah sakit, ia menulis di kamar mandi. Dalam situasi itu, ibunya membantunya mendatangi kantor-kantor redaksi, menawarkan tulisan-tulisannya kepada yang mau membeli. Di rumah besannya, ia kesulitan menemukan tempat untuk menulis. Maka, ia pergi ke masjid At-Tin di Taman Mini dan sering menginap di sana. Azzimattinur akan menyangka ia ke rumah Haekal; Haekal menyangka ia di rumah adiknya. Sering ada orang menyodorkan nasi bungkus kepadanya, mungkin mengira ia tunawisma yang perlu dikasihani, dan ia merasa tidak enak menolak, dan ia sering memakan nasi bungkus pemberian orang itu sambil menangis. Namun ia tetap bisa menertawai dirinya sendiri: “Ternyata nikmat sekali nasi bungkus lauk tempe tahu ala kadarnya campur rasa asin air mataku sendiri.” Sampai akhir hidupnya, Pipit Senja tidak pernah punya rumah sendiri. Ia menumpang di rumah anaknya. Tubuhnya kian ringkih oleh berbagai penyakit, tetapi ia menjalani hidup yang penuh. Ia menulis, mendirikan penerbitan sendiri, menjadi mentor penulisan, dan memenuhi berbagai undangan seminar dan pelatihan menulis: Mesir, Hong Kong, China, Macau, Malaysia, Singapura, UEA, Saudi Arabia, Taiwan. “Bagaimana kabar cucuku?” tanyanya kepada putrinya suatu malam. Azimattinur sedang mengandung anak pertamanya. Malam itu ia memeluk ibunya dan menangis merasakan tubuh ibunya mengecil. “Makin lincah gerakannya, Manini,” kata putrinya. “Semoga si Dede ini menjadi perempuan tangguh, perempuan hebat seperti Manini.” Manini—mungkin penggabungan dari Mama dan Nini—meninggal pada 29 September 2025 di usia 69. Saya hanya membaca satu novelnya dan tidak ingat apa ceritanya, tetapi saya selalu ingat namanya. Dan, sekarang, saya akan selalu mengingat juga, dengan rasa hormat, ketangguhannya.[] ==== Informasi dan Pendaftaran Sekolah Hidayatullah Yogyakarta Tahun Ajaran 2026/2027

Powered by Blogger.
close