Pipiet Senja dan Ironi Sastra: Meninggal dalam Kesulitan, Hidup dalam Kata-kata

Di ranjang rumah sakit itu, seorang perempuan renta terbaring dengan infus yang menetes pelan, seolah menghitung sisa detik hidupnya. Namanya Pipiet Senja.

Puluhan tahun ia hidup bersama kata-kata, menulis ratusan novel, cerpen, hingga buku motivasi. Karya-karyanya pernah memenuhi rak toko buku, mengisi ruang baca anak-anak sekolah, memberi cahaya kepada banyak orang. Namun di ujung hidupnya, ia harus mengulurkan tangan, menjajakan novel Jejak Cinta Sevilla seharga seratus lima puluh ribu rupiah—sekadar untuk menutup biaya pengobatan.


Potret itu bukan sekadar menyedihkan, melainkan menyayat. Seorang penulis dengan dedikasi sebesar itu, yang sepanjang hidupnya setia menulis meski tubuhnya digerogoti thalasemia sejak remaja, justru dibiarkan sendirian menghadapi senjakala hidup. Ia pernah menulis lirih: “Menulis itu ibadah, meski tubuhku lemah, aku ingin terus menebar cahaya lewat kata.” Kalimat itu kini terdengar seperti wasiat terakhir yang ditinggalkan bagi dunia yang kerap tuli terhadap nasib seniman.

Ia tetap menulis meski lemah, tetap berkeliling mengajar literasi meski tubuhnya rapuh. Namun pada akhirnya, Pipiet Senja harus mengaku getir: “Lagi tongpes, belum ada transferan dari penerbit.” Tongpes—kantong kempes—menjadi kata yang mencubit nurani siapa pun yang pernah membaca karyanya. Kata itu kini abadi sebagai epitaf bagi seorang penulis yang sepanjang hidupnya menyalakan lilin di lorong literasi bangsa, tetapi dibiarkan meredup sendirian.

Kisahnya adalah ironi yang berulang. Edgar Allan Poe meninggal miskin, Franz Kafka wafat tanpa pernah tahu karyanya kelak diagungkan, Herman Melville menghembuskan napas terakhir sebagai pegawai bea cukai yang dilupakan. Dunia literasi memang kejam: pengakuan baru tiba setelah nisan ditancapkan. Pipiet Senja menambah daftar panjang nama-nama yang hidup dalam sunyi, lalu dikenang setelah pergi.

Ia meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya. Bukan dengan harta berlimpah, tetapi dengan warisan kata-kata yang tak ternilai. Ia mengajarkan bahwa menulis adalah keberanian melawan sunyi, meski tubuh melemah, meski dompet kosong, meski hidup menolak berpihak.

Meninggalnya Pipiet Senja adalah tamparan bagi kita semua. Betapa negara mudah menyebut seniman sebagai pilar kebudayaan, namun begitu berat tangan untuk hadir ketika pilar itu roboh. Betapa publik ringan berdecak kagum, tetapi enggan menoleh ketika seorang penulis harus menjual kata demi infus.

Dalam salah satu tulisannya, ia berbisik: “Kata-kata itu seperti doa, ia akan mencari jalan pulang meski pemiliknya telah tiada.” Doa itu kini benar-benar pulang, mengendap dalam hati siapa pun yang membaca kabar duka ini.

Pipiet Senja meninggal dalam kesulitan, tapi kata-katanya akan terus hidup, lebih panjang dari usia manusia.
 **

Ady Amar, Kolumnis

Sumber www.kbanews.com

++++++
Informasi Pendaftaran Sekolah Hidayatullah Yogyakarta Tahun Ajaran 2026/2027


Powered by Blogger.
close