Eep Saefullah Fatah: Inkonsistensi Jokowi Cerminkan Krisis Demokrasi
Analis politik Eep Saefullah Fatah melontarkan kritik tajam terhadap mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, sikap tidak konsisten Jokowi sejak awal masa kepemimpinannya menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia.
Eep menilai, inkonsistensi itu paling nyata terlihat dari pernyataan Jokowi mengenai keluarganya yang semula diklaim tidak akan terlibat dalam politik, namun justru kini aktif di panggung kekuasaan.
“Janji-janji itu dibantah oleh fakta yang dia sendiri ciptakan. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi cermin dari ketidaksiapan melepaskan kekuasaan,” tegasnya dalam Podcast Madilog Forum Keadilan yang digelar pada Kamis malam (16/10/2025).
Menurut Eep, Jokowi bukan hanya tidak konsisten antara ucapan dan tindakan, tetapi juga terjebak dalam kecemasan untuk kehilangan kendali politik.
“Jokowi tampaknya orang yang paling tidak siap meninggalkan kekuasaannya,” ujar Eep dalam wawancara itu. “Ketidaksiapan itu terlihat sejak ia berperan besar dalam perubahan syarat capres-cawapres yang akhirnya membuat putranya memenuhi syarat dan terpilih. Itu tanda jelas seorang pemimpin yang cemas kehilangan kekuasaan.”
Eep menyebut bahwa kecemasan tersebut tampak dari upaya Jokowi membangun jejak kekuasaan dalam keluarga, melalui keterlibatan anak-anak dan menantunya di panggung politik nasional.
“Dua putranya sudah berpolitik, putrinya tidak, tapi menantunya iya. Jadi kalau keluarga itu terdiri dari empat pasang, semuanya terwakili. Tidak ada keluarga lain yang semasif itu,” tegasnya.
Selain soal dinasti, Eep juga menyoroti inkonsistensi Jokowi yang dianggap sudah menjadi tabiat.
“Pak Jokowi itu terbiasa untuk tidak konsisten,” kata Eep. “Dulu beliau mengatakan anak-anaknya tidak akan terjun ke politik, tapi kemudian semua itu dibantah sendiri. Ini bukan soal harus inkonsisten, tapi sudah menjadi kebiasaan untuk tidak konsisten.”
Ia menambahkan, kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa Jokowi tidak sungguh-sungguh membangun sistem demokrasi yang sehat dan terbuka.
“Ketika masa jabatannya berakhir, yang tersisa bukan semangat demokrasi, melainkan kekhawatiran kehilangan kendali,” ujar Eep.
Lebih lanjut, Eep menilai pemilu 2024 menjadi bukti paling nyata dari kecenderungan otoritarian itu.
“Pemilu 2024 adalah pemilu dengan keterlibatan kekuasaan yang paling brutal dalam sejarah reformasi,” ujarnya.
“Kalau Soeharto mempraktikkan otokratisme dalam sistem otokratis, Jokowi mempraktikkan otokratisme dalam sistem demokratis.”
Eep menegaskan, kebiasaan Jokowi yang memadukan politik keluarga, pengaruh kekuasaan, dan lemahnya konsistensi nilai membuat demokrasi Indonesia mundur ke belakang.
“Kita harus belajar bahwa seorang penguasa bukan hanya dibatasi ketika berkuasa, tapi juga ketika kekuasaan berpindah. Kalau tidak, dia akan merusak aturan, etika, dan moral politik,” tutupnya.
Selain soal dinasti politik, Eep juga menyoroti lemahnya posisi Jokowi dalam menjaga independensi lembaga-lembaga negara, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Saat KPK dilemahkan, presiden justru diam. Itu sinyal jelas bahwa ia tidak berdiri di atas kepentingan publik,” lanjutnya.
Di akhir perbincangan, Eep mengingatkan masyarakat agar tidak menormalisasi praktik kekuasaan semacam ini. “Inkonsistensi seorang pemimpin, bila dibiarkan, akan melahirkan sistem yang korosif dan jauh dari cita-cita demokrasi,” pungkasnya.*
Sumber www.hidayatullah.com
Post a Comment