Politik Gagal Empati


Oleh: Ali Musa Harahap, Ph.D

Rusaknya rakyat disebabkan oleh rusaknya pemimpin,  demikian pesan Imam Al-Ghazali, satul hal fenomena hilangnya politik gagal empati saat ini.

DEMONTSRASI
 merebak di berbagai kota Indonesia. Aksi –akibat amarah sosial yang meledak— melahirkan perusakan, penjarahan, hingga serangan terhadap simbol-simbol kekuasaan.

Aksi dipicu muncul mulut seorang wakil rakyat kita yang dengan enteng menyebut rakyat sebagai “tolol”.

Ucapan itu mencerminkan watak kekuasaan yang telah kehilangan empati. Betapa mudahnya elit politik kita merendahkan rakyat yang seharusnya mereka wakili.

Alih-alih menjadi pelindung suara rakyat, mereka justru menjelma menjadi penghina yang menjauhi prinsip amanah.

Pernyataan seperti itu bukan hanya melukai, tapi juga membuka borok lama: bahwa kekuasaan di republik ini sering lahir dari pengkhianatan terhadap suara yang dulu dipakai untuk naik ke kursi empuk parlemen.


Presiden Prabowo dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin pun ikut dalam barisan kekuasaan yang bersikap keras terhadap rakyat. Ia mengutuk penjarahan terhadap rumah-rumah pejabat dan meminta aparat bertindak tegas.


Tapi mengapa tidak ada kalimat empati terhadap rakyat yang didesak oleh harga pangan, pajak konsumtif, dan beban hidup yang makin tak tertanggungkan?


Agama Islam sangat jelas dalam meletakkan prioritas: menolong yang tertindas lebih utama daripada melindungi kenyamanan para elit.


Keadilan tidak boleh hanya ditegakkan ketika properti elit dirusak. Ia harus ditegakkan ketika rakyat dirampas haknya, ditindas oleh kebijakan, dan dipinggirkan dalam sistem.


Demonstrasi Jalan Terakhir

Dalam sejarah peradaban politik, demonstrasi adalah alarm sosial. Ia muncul bukan dari ruang kosong, tapi dari akumulasi ketidakadilan yang tak ditanggapi.


Masyarakat tidak akan memilih turun ke jalan jika saluran legal berfungsi, jika suara mereka didengar di parlemen, jika kebijakan mencerminkan keadilan sosial, bukan sekadar angka-angka pertumbuhan ekonomi di layar presentasi para menteri.


Ketika rakyat merasa negara hanya bekerja untuk segelintir elit, dan ketika simbol-simbol joget Eko Patrio dan Uya Kuya, dan anggota DPR lainnya, kekuasaan mobil mewah, rumah dinas megah, fasilitas Istimewa dipamerkan di tengah penderitaan, maka yang meledak bukan hanya emosi, tapi rasa keadilan yang terinjak-injak.

Haruskah terjadi penjarahan rumah pejabat agar negara mendengar? Haruskah kendaraan dinas dibakar baru menteri datang turun tangan? Mengapa sejak dulu selalu begitu?


Islam dan Kekuasaan

Kekuasaan dalam Islam bukanlah hak istimewa untuk dipertahankan mati-matian. Ia adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Pemimpin adalah pelayan, bukan majikan.


Sayangnya, banyak pemimpin kita hari ini justru merasa lebih tinggi dari rakyat. Mereka tersinggung jika harta pribadinya diganggu, tapi diam saat rakyat diganggu oleh harga, pajak, dan pungutan yang menyesakkan.


Rakyat bukan “tolol”. Rakyat justru sabar. Terlalu sabar. Mereka memilih diam bertahun-tahun, berharap parlemen bekerja untuk mereka. Tapi apa yang mereka dapatkan?


RUU yang lahir tanpa konsultasi publik, anggaran jumbo untuk fasilitas elit, kebijakan ekonomi yang mencekik, serta kriminalisasi terhadap demonstran yang mengakibatkan korban jiwa meninggalnya pengemudi ojol Affan Kurniawan.


Jika negara mau mendengar, dengarlah sebelum rakyat marah. Demonstrasi dan penjarahan memang tidak bisa dibenarkan sebagai norma.


Tapi dalam ilmu politik, gejala-gejala sosial seperti itu adalah peringatan bahwa sistem sedang gagal. Kita tidak membenarkan anarki. Tapi kita juga tidak boleh membenarkan negara yang tuli terhadap jeritan rakyat.


Solusinya bukan represi, tapi introspeksi. Bukan menyalahkan rakyat, tapi mengoreksi kebijakan.


Pesan Al-Ghazali

Mari kita kembalikan ke pemikiran para ulama besar Islam. Al-Ghazali tidak pernah menyebut rakyat sebagai “tolol”. Justru ia menegaskan: “Rusaknya rakyat adalah karena rusaknya pemimpin. Dan rusaknya pemimpin karena lemahnya ilmu dan kuatnya hawa nafsu mereka.”


Jadi jika hari ini rakyat marah, jangan buru-buru menyalahkan mereka. Lihatlah ke cermin kekuasaan.

Mungkin kerusakan itu bukan dari jalanan tapi dari gedung-gedung megah yang telah lupa siapa yang seharusnya mereka layani.*


Dosen Ilmu Politik, Universitas Darussalam Gontor
Sumber www.hidayatullah.com


Powered by Blogger.
close