Pekerjaan yang Boleh Meninggalkan Sholat Jumat, Ini Dalilnya
Ibadah Sholat Jumat merupakan sebuah kewajiban yang harus dijalankan seorang Muslim yang sudah mukalaf. Sebagai ibadah yang wajib, anggota DSN Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustaz Oni Sahroni mengungkapkan, sholat tidak boleh ditinggalkan bahkan dilalaikan.
Oleh karena itu, menurut Ustaz Oni, bekerja sebagai seorang profesional tetapi shalat Zuhur ditinggal atau shalat Jumat ditinggal itu penyimpangan, melalaikan kewajiban, dan membuat pekerjaan menjadi tidak halal dan berkah karena faktor eksternal.
"Akan tetapi, faktanya, ada beberapa profesi yang harus bekerja pada saat sholat Jumat. Ia akhirnya meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan sholat Zuhur. Sehingga, untuk mereka, apakah diperbolehkan karena alasan semidarurat atau seperti apa ketentuannya?" tulis Ustaz Oni seperti dikutip dari Konsultasi Syariah Republika dengan judul "Tetap Bekerja Saat Sholat Jumat Apakah Diperbolehkan?"
Menurut Ustaz Oni, ada beberapa pekerjaan yang dilakukan pada waktu sholat Jumat itu seperti keamanan yang bertugas shift menjaga kantor atau kompleks perumahan, dokter yang bertugas di ruang IGD, penjaga pintu/palang kereta, serta pilot dan kru pesawat.
Dalam contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa para dokter dan tenaga medis di IGD, para penjaga pintu/palang kereta, atau para pilot dan awak kabin yang sedang bertugas pada saat sholat Jumat itu boleh meninggalkan sholat Jumat.
Selanjutnya, mereka (laki-laki) berkewajiban untuk menunaikan sholat Zuhur jika berkesempatan untuk shalat Zuhur pada waktunya atau dijamak dengan sholat Ashar jika dalam kondisi rukhsah.
Akan tetapi, jika dimungkinkan tanpa masyaqqah untuk menugaskan pegawai perempuan di waktu tersebut, maka itu yang menjadi pilihan utama. Sehingga, pilihan untuk menempatkan tenaga laki-laki di waktu tersebut itu setelah tidak ada tenaga perempuan yang bisa bertugas di waktu tersebut.
Menurut Ustaz Oni, hal ini karena kondisi semidarurat, di mana kondisi semidarurat (al-hajat) merupakan daftar kebutuhan yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kesulitan. Di antara dhawabith (rambu-rambu) al-hajat yaitu:
(a) kondisi hajat harus benar-benar terjadi atau menurut kalkulasi, kebiasan, atau dugaan kuat itu akan terjadi.
(b) Terjadi kesulitan di atas standar. Sebaliknya, jika kesulitan yang terjadi itu standar, maka bukan kategori al-hajat yang menyebabkan rukhshah.
(c) Hal yang dibutuhkan tidak bertentangan dengan nash yang shahih dan sharih (jelas).
(d) Kondisi hajat bisa disetarakan dengan dharurat jika menjadi satu-satunya alternatif, sedangkan alternatif tersebut tidak bisa menjadi pilihan karena adanya kesulitan (masyaqqah). (lihat buku Nadzariyyatu adh-Dharurah, Wahbah az-Zuhaili).
Kondisi al-hajat (semidarurat) itu seperti kondisi darurat dalam hukum dan konsekuensinya. Dalam kondisi dharurat, setiap orang dibolehkan melakukan hal-hal yang dilarang, maka begitu pula dengan kondisi al-hajah, boleh melakukan hal yang dibutuhkan walaupun terlarang.
Yang membedakan antara al-hajah dengan darurat adalah tingkat keterbutuhan pelaku (mukallaf) terhadap mashlahat tersebut.
Dalam kondisi darurat, tingkat keterbutuhan terhadap hal-hal dharuriyat adalah sangat penting (darurat/asasi), jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan halak (binasa). Sedangkan dalam kondisi al-hajah, tingkat keterbutuhan terhadap hajiat itu di bawah darurat (penting), jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kesulitan (masyaqqah ghairi mu’tadah/fawatu al-manfa’ah).
Sebagaimana kaidah fikih, “al-hajah allati tanzilu manzilata ad-darurah; keperluan/hajat (akan sesuatu) dapat menempati posisi (setara dengan) darurat.” (Al-Asybah wa an-Nazhair: 85). Dan juga kaidah, “Segala sesuatu jika sempit maka menjadi luas.” (Syarah Majalah Al-Ahkam:18, Al-Asybah wa an-Nazhair: 83, Ibnu Nujaim: 84).
Sumber www.republika.co.id
Oleh karena itu, menurut Ustaz Oni, bekerja sebagai seorang profesional tetapi shalat Zuhur ditinggal atau shalat Jumat ditinggal itu penyimpangan, melalaikan kewajiban, dan membuat pekerjaan menjadi tidak halal dan berkah karena faktor eksternal.
"Akan tetapi, faktanya, ada beberapa profesi yang harus bekerja pada saat sholat Jumat. Ia akhirnya meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan sholat Zuhur. Sehingga, untuk mereka, apakah diperbolehkan karena alasan semidarurat atau seperti apa ketentuannya?" tulis Ustaz Oni seperti dikutip dari Konsultasi Syariah Republika dengan judul "Tetap Bekerja Saat Sholat Jumat Apakah Diperbolehkan?"
Menurut Ustaz Oni, ada beberapa pekerjaan yang dilakukan pada waktu sholat Jumat itu seperti keamanan yang bertugas shift menjaga kantor atau kompleks perumahan, dokter yang bertugas di ruang IGD, penjaga pintu/palang kereta, serta pilot dan kru pesawat.
Dalam contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa para dokter dan tenaga medis di IGD, para penjaga pintu/palang kereta, atau para pilot dan awak kabin yang sedang bertugas pada saat sholat Jumat itu boleh meninggalkan sholat Jumat.
Selanjutnya, mereka (laki-laki) berkewajiban untuk menunaikan sholat Zuhur jika berkesempatan untuk shalat Zuhur pada waktunya atau dijamak dengan sholat Ashar jika dalam kondisi rukhsah.
Akan tetapi, jika dimungkinkan tanpa masyaqqah untuk menugaskan pegawai perempuan di waktu tersebut, maka itu yang menjadi pilihan utama. Sehingga, pilihan untuk menempatkan tenaga laki-laki di waktu tersebut itu setelah tidak ada tenaga perempuan yang bisa bertugas di waktu tersebut.
Menurut Ustaz Oni, hal ini karena kondisi semidarurat, di mana kondisi semidarurat (al-hajat) merupakan daftar kebutuhan yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kesulitan. Di antara dhawabith (rambu-rambu) al-hajat yaitu:
(a) kondisi hajat harus benar-benar terjadi atau menurut kalkulasi, kebiasan, atau dugaan kuat itu akan terjadi.
(b) Terjadi kesulitan di atas standar. Sebaliknya, jika kesulitan yang terjadi itu standar, maka bukan kategori al-hajat yang menyebabkan rukhshah.
(c) Hal yang dibutuhkan tidak bertentangan dengan nash yang shahih dan sharih (jelas).
(d) Kondisi hajat bisa disetarakan dengan dharurat jika menjadi satu-satunya alternatif, sedangkan alternatif tersebut tidak bisa menjadi pilihan karena adanya kesulitan (masyaqqah). (lihat buku Nadzariyyatu adh-Dharurah, Wahbah az-Zuhaili).
Kondisi al-hajat (semidarurat) itu seperti kondisi darurat dalam hukum dan konsekuensinya. Dalam kondisi dharurat, setiap orang dibolehkan melakukan hal-hal yang dilarang, maka begitu pula dengan kondisi al-hajah, boleh melakukan hal yang dibutuhkan walaupun terlarang.
Yang membedakan antara al-hajah dengan darurat adalah tingkat keterbutuhan pelaku (mukallaf) terhadap mashlahat tersebut.
Dalam kondisi darurat, tingkat keterbutuhan terhadap hal-hal dharuriyat adalah sangat penting (darurat/asasi), jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan halak (binasa). Sedangkan dalam kondisi al-hajah, tingkat keterbutuhan terhadap hajiat itu di bawah darurat (penting), jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kesulitan (masyaqqah ghairi mu’tadah/fawatu al-manfa’ah).
Sebagaimana kaidah fikih, “al-hajah allati tanzilu manzilata ad-darurah; keperluan/hajat (akan sesuatu) dapat menempati posisi (setara dengan) darurat.” (Al-Asybah wa an-Nazhair: 85). Dan juga kaidah, “Segala sesuatu jika sempit maka menjadi luas.” (Syarah Majalah Al-Ahkam:18, Al-Asybah wa an-Nazhair: 83, Ibnu Nujaim: 84).
Sumber www.republika.co.id
Post a Comment