Label Negatif


Oleh Dr. Khoiruddin Bashori, M.Si.

Label adalah sebutan atau cap yang diberikan seseorang kepada individu lain, baik secara positif maupun negatif. Dalam konteks anak, label sering kali muncul melalui kata-kata sehari-hari dari orang tua, guru, atau lingkungan sosial, misalnya menyebut anak sebagai “pemalas”, “nakal”, atau “bodoh”. 

Menurut teori “labeling”, cap yang diberikan pada seseorang dapat membentuk persepsi diri, mempengaruhi interaksi sosial, dan bahkan menentukan arah perilaku di masa depan. Dengan kata lain, label bukan sekadar kata, melainkan konstruksi psikologis yang mempengaruhi identitas diri seorang anak.

Anak sedang berada dalam fase pencarian identitas dan pembentukan konsep diri. Konsep diri ini sebagian besar terbentuk melalui interaksi sosial, khususnya melalui “significant others” seperti orang tua dan guru. Apabila anak terus-menerus menerima label negatif, mereka dapat menginternalisasi label tersebut sebagai bagian dari identitasnya.

Anak yang berulang kali disebut “pemalas” akhirnya bisa percaya bahwa dirinya memang tidak mampu berusaha, lalu berhenti mencoba. Inilah yang oleh psikologi disebut sebagai fenomena “self-fulfilling prophecy”, ketika keyakinan orang lain yang diinternalisasi anak justru membuat perilakunya selaras dengan label tersebut.

Jika anak merasa tidak kompeten karena terus dilabeli “bodoh” atau “tidak bisa diandalkan”, maka motivasi intrinsiknya akan menurun drastis. Anak lebih rentan mengalami “learned helplessness”, keadaan di mana individu berhenti berusaha karena merasa apa pun yang dilakukan tidak akan mengubah hasil.

Dr. Khoiruddin Bashori,M.Si.
Ketua Dewan Pembina Yayasan SPA Indonesia



Powered by Blogger.
close