Ketika Anak Bilang Tak Percaya Allah


Oleh : Ida S. Widayanti

Seorang ibu merasa jantungnya berhenti berdetak. Dunia seakan runtuh, karena anaknya yang sejak bayi dan setiap malam dicium keningnya sambil didoakan menjadi pemimpin yang bertakwa, kini meragukan keberadaan Allah Ta'ala.

"Kayanya seumur hidup, aku gak akan kembali ke Islam," kata anak perempuannya itu.

Menurut anak gadisnya itu, Islam homophobic alias terlalu takut, benci, dan berprasangka negatif.

Situasi ini menjadi ujian berat bagi orang tua. Bukan hanya karena rasa sedih, tapi juga muncul rasa takut, "Bagaimana kelak nasib anakku di akhirat?"

Menjadi orang tua bukan hanya tentang mendidik, tapi juga tentang menemani saat iman anak goyah. Menjadi orang tua bukan hanya soal mengajarkan agama, tapi juga bagaimana menjadi tempat pulang saat hati anak penuh luka dan tanya.

Bagaimana caranya? Pertama, menahan diri. Ketika anak mengalami krisis iman, penting bagi orang tua untuk tidak serta merta bereaksi dengan marah atau menghakimi. Reaksi emosional hanya akan membuat anak semakin menjauh.

Tugas kita bukan hanya mengajarkan keimanan, tapi juga menanamkannya dengan cinta. Iman bukan sekadar pengetahuan, tapi pengalaman batin yang tumbuh melalui kasih sayang, penghayatan, dan keteladanan.

Kedua, mendekat tanpa menggurui. Dekati anak sebagai sahabat, bukan sebagai hakim. Dengarkan tanpa menyela dan tanpa membela diri. Seringkali, krisis iman lahir dari luka akibat kecewa, atau pertanyaan-pertanyaan besar yang tak pernah mendapat ruang untuk dijawab. Kehadiran orang tua yang tenang, penuh cinta, dan terbuka menjadi pintu kembali yang paling memungkinkan.

Ketiga, berdoa. Jika lidah tak bisa lagi menyampaikan, biarlah doa yang berbicara. Sebagaimana Nabi Nuh a.s. yang terus berdoa untuk anaknya, begitulah seharusnya orang tua: menyerahkan yang tak bisa dikendalikan kepada Allah Ta'ala, tapi tak pernah berhenti berusaha.

Tampilkan Islam dalam bentuk yang paling indah: adil, lembut, penuh kasih, dan tidak mengintimidasi. Kadang, satu pelukan dalam diam lebih menyentuh dari pada seribu kalimat dakwah.

Karena itu, serahkan pada Sang Pemilik Hati. Iman adalah hidayah. Ia bukan warisan, tapi cahaya yang Allah Ta'ala nyalakan dalam hati hamba-Nya. Jika saat ini anak belum menemukan cahaya itu, jangan pernah menyerah.

Orang tua tetap berpegang pada keyakinan: bahwa tugas kita adalah menanam, menyiram, dan men-doakan. Hasilnya, biarlah Allah Ta'ala yang menentukan.

*Ida S. Widayanti, Pegiat parenting dan praktisi pendidikan/Suara Hidayatullah

Mau Daftar Sekolah Hidayatullah Yogyakarta? Klik DI SINI


Powered by Blogger.
close