Ahli Pangan Paparkan Kemungkinan Penyebab Terjadinya Keracunan Makanan MBG


Ahli pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (Unej) Dr Nurhayati memaparkan kemungkinan penyebab keracunan makanan siap saji dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah daerah. Kasus keracunan dalam program MBG juga terjadi di Jember.

"
Saya prihatin dengan maraknya kasus keracunan akibat pangan siap saji yang dialami pelajar dalam Program MBG di sejumlah daerah, termasuk di Kabupaten Jember," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Ahad (28/9/2025).

Menurut Nurhayati, perlu ditelusuri apa, mengapa, dan bagaimana terjadinya keracunan pangan siap saji di sekolah-sekolah untuk mengkaji titik kritis penyebab keracunan tersebut. Menurut dia, penyebab keracunan pangan siap saji bisa disebabkan paparan bahan kimia seperti residu pestisida atau toksin mikroba, dan keracunan akibat paparan mikroba.

"Pangan segar yang diolah tanpa melalui proses pencucian yang baik memungkinkan terjadinya kontaminasi bahan kimia maupun kontaminasi mikroba. Begitu pula proses memasak yang kurang cukup panas maka berpotensi tumbuhnya mikroba perusak maupun patogen," tuturnya.

Ia mengatakan bahan pangan yang rusak oleh mikroba bisa menimbulkan bau busuk dan dapat berbahaya jika mikrobanya menghasilkan toksin seperti enterotoksin, botulin, atau senyawa kimia seperti gas disulfide (H2S) yang dapat menyebabkan keracunan yang serius, dengan gejala mulai dari pusing dan mual hingga kerusakan paru-paru, kehilangan kesadaran, dan kematian.



"H2S memiliki bau telur busuk yang menyengat dan beracun. Keberadaan sel mikroba hidup juga bisa menyebabkan penyakit seperti diare, tipus, kolera dan lainnya," katanya.

N
urhayati mengatakan, beberapa hal yang bisa menjadi sumber terjadinya keracunan yang perlu diwaspadai yakni bahan-alat yang tidak dicuci bersih dan dijaga higienitasnya dapat menyebabkan risiko kontaminasi bakteri atau sumber penularan mikroba seperti Escherichia coli penyebab diare atau Salmonella sp penyebab tipus.

"Kemudian proses memasak makanan yang tidak matang sempurna bisa menjadi sumber bakteri patogen masih hidup terutama pangan kaya protein seperti daging dan ikan," tuturnya.

Namun, panas berlebih selama memasak juga harus dipertimbangkan agar tidak menghilangkan nutrisi pada makanan terutama yang larut air dan mudah rusak seperti vitamin C.

"Penyimpanan sebelum penyajian yang dilakukan pada suhu ruang 5-60 derajat Celcius adalah masuk ke dalam zona bahaya karena mikroba perusak maupun patogen berkembang pada suhu tersebut. Dalam artian kurang pendinginan untuk makanan dingin, atau kurang penghangatan untuk makanan panas," katanya.

Selain itu, lanjut dia, penyajian yang dilakukan pada kondisi terbuka terlalu lama akan memudahkan kontaminasi debu, serangga, maupun kontaminasi silang dari sentuhan tangan juga bisa menjadi penyebab keracunan.

"Peralatan saji seperti stainless stell lebih mudah menghantarkan panas untuk mendukung pertumbuhan mikroba kontaminasi yang ada. Terlebih penyajian dilakukan pas jadwal makan siang, sedangkan produk diolah pagi hari," ujarnya.

Jika terjadi kontaminasi silang maka sejak pukul 06.00 WIB ke pukul 11.00 WIB, waktu penyajian sudah terjadi pertumbuhan mikroba lebih dari 10 ribu. Padahal umumnya untuk terjadinya keracunan cukup 3 ribu sel patogen, meskipun jumlahnya bervariasi tergantung pada jenis patogen, toksin, dan kondisi individu yang terinfeksi.

Nurhayati yang juga Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) itu menjelaskan bahwa penyebab keracunan juga bisa terjadi karena kebersihan penyaji jika tidak mencuci tangannya, tidak memakai sarung tangan atau penutup kepala sudah menjadi sumber kontaminasi silang.

"Konsumen yang mengkonsumsi makanan secara bersama-sama sebenarnya bisa menjadi kurang terkontrol higienitasnya, sehingga dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit," katanya.

Ia berharap semua pihak yang terlibat dalam penyiapan makanan MBG bisa mewaspadai titik kritis penyajian makan yakni kebersihan bahan, proses masak, penyimpanan, dan pada saat penyajian. "Adanya kelalaian pada salah satu titik kritis maka akan berisiko keracunan makanan dan memungkinkan pula penyakit bawaan pangan meningkat seperti tipus dan diare," ucap dosen Fakultas Teknologi Pertanian Unej itu.

Pemerintah mengevaluasi para juru masak di semua Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) terkait dengan kedisiplinan, kualitas, dan kemampuan memasak, usai munculnya kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG). "Salah satu evaluasi yang utama adalah mengenai kedisiplinan, kualitas, kemampuan juru masak tidak hanya di tempat terjadi (keracunan), tetapi juga di seluruh SPPG," kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan atau akrab disapa Zulhas dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta, Ahad.

Hal tersebut, ujar dia melanjutkan, merupakan salah satu poin pembahasan dalam Rapat Koordinasi Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada Program Prioritas Makan Bergizi Gratis. Selain mengevaluasi juru masak, langkah yang ditempuh pemerintah untuk menindaklanjuti kasus keracunan MBG sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa setiap makanan dalam MBG ke depan terjamin keamanannya adalah menutup sementara SPPG yang bermasalah.

Lebih lanjut, Zulhas menyampaikan bahwa pemerintah juga mewajibkan SPPG untuk mensterilisasi seluruh alat makan, termasuk memperbaiki proses sanitasi, khususnya terkait kualitas air dan alur limbah. SPPG pun diwajibkan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SHLS) untuk memastikan semua satuan itu memenuhi standar kebersihan dan pembuatan makanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kemudian, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengoptimalkan puskesmas dan usaha kesehatan sekolah (UKS) untuk ikut mengambil peran aktif dalam memantau setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) secara rutin.

Sumber
www.republika.co.id 

Info PMB Sekolah Hidayatullah Yogyakarta Tahun 2026/2027


Powered by Blogger.
close