Manfaat Keterampilan Majemuk Matematis

“Uangnya lima puluh ribu. Belanjanya tiga puluh tiga ribu. Ini ya kembaliannya. Tiga puluh empat, tiga puluh lima, empat puluh, lima puluh ribu. Pas ya?” tanya pedagang kepada pembelinya, memastikan.


Sang pedagang menghitung dan memberikan pengembalian dengan cara yang unik. Ia tidak melakukan pengurangan. Sebaliknya ia menggunakan penambahan hingga genap sejumlah uang yang dibayarkan pembeli.

Saat menerima pembayaran sebesar lima puluh ribu rupiah, sementara total belanja sebesar tiga puluh tiga ribu, ia melakukan penjumlahan dari tiga puluh tiga ribu hingga lima puluh ribu. Ia menambahkan uang seribu, lalu seribu lagi, lalu lima ribu, dan terakhir sepuluh ribu. Sambil menambahkan uang kembalian, ia melakukan penjumlahan.

Cara ini masih bisa ditemukan di kehidupan sehari-hari terutama di pedesaan. Penggunanya kebanyakan orang yang sudah berusia 60 tahun ke atas. Mereka yang lebih muda hampir tidak ada yang menggunakan cara ini. Mereka lebih banyak menggunakan cara sebagaimana umumnya, berbasis pengurangan.

Sebenarnya tidak ada hal yang terlalu krusial terkait fenomena ini. Setiap generasi punya cara sendiri dalam menyelesaikan persoalan matematis. Toh semuanya menghasilkan hasil hitungan yang akurat.

Hanya satu catatannya, lebih tepatnya harapan, agar berbagai cara matematis yang pernah digunakan di kehidupan sehari-hari tidak punah. Akan tetapi ada pelestarian. Minimal generasi berikutnya pernah mempelajari dan mensimulasikannya.

Hal ini penting. Pertama, kekayaan intelektual generasi terdahulu masih dikenali generasi berikutnya. Kedua, ada apresiasi kepada generasi terdahulu dari generasi berikutnya. Ketiga, semangat belajar tumbuh di generasi berikutnya. Keempat, kekayaan intelektual bangsa terjaga. Kelima, ada mindset sekaligus skillset untuk menyelesaikan satu masalah dengan berbagai cara.


Poin terakhir sangat fundamental bagi murid terutama saat mereka sudah lebih banyak menghadapi kehidupan nyata semisal bekerja. Bahwa satu masalah bisa dianalisis lalu diselesaikan dengan beberapa opsi solusi. Sehingga rasa putus asa tidak pernah hadir dalam kehidupan. Sebaliknya jiwa petarung begitu kuat. Bagaimana masalah terselesaikan, berbagai jalan dikaji untuk kemudian dipilih dan dijalani dengan berani.  

Memang pengajaran berbagai cara berhitung memerlukan waktu. Sementara tuntutan kurikulum begitu berat. Rasanya waktu tidak mencukupi. Di sisi lain pengajaran satu cara berhitung saja berpotensi pada sempitnya cara berpikir murid dalam menyelesaikan masalah di kemudian hari.


Dalam hal ini, satuan pendidikan dan guru dapat bersinergi. Strukturisasi kurikulum berbasis kebutuhan satuan pendidikan pendidikan dilakukan secara sistemik dan sistematis. Semoga murid memperoleh pengalaman belajar yang kaya sebagai modal menghadapi masalah-masalah nyata kehidupan di masa depan.

Wallahu a’lam.


Powered by Blogger.
close