Mengapa Sound Horeq Haram? Ini Penjelasan KH Muhibbul Aman Aly”
Dikutip dari media Hidayatullah.com – Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Besuk, Pasuruan, KH Muhibbul Aman Aly menjelaskan secara rinci dasar pengharaman sound horeq yang belakangan menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Dalam forum bahtsul masail yang digelar pada 1 Muharram lalu, para kiai NU memutuskan bahwa sound horeq hukumnya haram secara mutlak, tidak sekadar karena kebisingannya, tetapi karena unsur kemungkaran yang menyertainya.
Menurut KH Muhibbul Aman Aly, istilah “sound horeq” merujuk pada fenomena baru berupa hiburan jalanan yang menyertakan sound system berdaya sangat tinggi disertai tontonan joget, pakaian tak pantas, dan kadang disertai minuman keras, serta berdampak negatif pada masyarakat. Ini berbeda dengan sound system biasa yang dipakai untuk pengajian, pernikahan, atau acara formal tanpa unsur hiburan liar.
“Sound horeq bukan sekadar speaker besar. Ia jadi tontonan massal dengan suara mengglegar, joget-jogetan, kadang disertai penampilan tak senonoh. Inilah yang kami soroti. Maka, hukum haramnya bukan hanya karena suara keras, tapi karena kemungkaran dan dampak sosial yang ditimbulkan,” tegas Kiai Muhibbul.
Tiga Alasan Utama Diharamkan
Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh forum bahtsul masail, para kiai tiga aspek utama dari sound horeq:
1. Kebisingan suara yang ekstrem, mengganggu kenyamanan masyarakat.
2. Kegiatan dalam acara, seperti joget, pakaian terbuka, bahkan dalam beberapa kasus terjadi pelanggaran norma agama.
3. Dampak sosial-akhlak, terutama terhadap anak-anak dan remaja yang terpapar tontonan tidak mendidik.
“Sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
‘Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.’ (QS. Luqman: 18)
Dan juga sabda Nabi ﷺ:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا ٱلْمُجَاهِرِينَ
‘Seluruh umatku dimaafkan kecuali yang terang-terangan berbuat dosa.’ (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam pandangan para ulama, sound horeq termasuk bentuk al-munkar al-jahr (kemungkaran yang dipertontonkan terang-terangan), yang justru semakin membahayakan karena dikemas dalam bentuk hiburan.
Beda Sound horeq dan Sound system Biasa
KH Muhibbul menekankan bahwa yang diharamkan adalah sound horeq sebagai paket hiburan yang merusak, bukan teknologi pengeras suara itu sendiri.
“Sound system untuk pengajian, mantenan, shalawatan, itu boleh bahkan berpahala. Tapi kalau dipakai joget liar, pamer aurat, musik keras, dan merusak akhlak, itu jadi haram. Maka kami tegaskan: sound horeq beda dengan sound system biasa,” ujarnya.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa sejak 2010 dan makin marak pasca-COVID-19, penggunaan sound system berubah fungsi dari alat bantu keagamaan dan sosial menjadi tontonan liar di jalanan.
Haram secara Mutlak
Fatwa yang dikeluarkan bersifat haram mutlak, artinya tidak bergantung pada seberapa bisingnya suara atau terganggu tidaknya warga. Selama dalam acara tersebut ada unsur kemungkaran, maka hukumnya tetap haram.
“Haram mutlak itu maknanya, walaupun tidak mengganggu secara fisik, tapi karena mengandung munkarāt (kemungkaran) dan dampak sosial buruk, tetap haram,” jelasnya.
Dalam bahasa fikih, tindakan ini termasuk سدّ الذرائع (menutup pintu-pintu menuju kerusakan) demi menjaga moral dan masa depan generasi muda.
Seruan ke Pemerintah dan Masyarakat
KH Muhibbul mengajak pemerintah daerah ikut menindaklanjuti fatwa ini agar budaya yang merusak tidak semakin meluas. Ia berharap adanya regulasi yang tegas dari pemerintah terhadap penyelenggaraan sound horeq.
“Kami berharap pemerintah Jawa Timur, khususnya Pasuruan, jangan tinggal diam. Ini ancaman bagi akhlak generasi muda kita. Mari kita cegah sejak dini,” katanya.
Kepada masyarakat dan pelaku ekonomi di balik bisnis sound horeq, ia memberikan solusi: tetap bisa berusaha dengan cara yang halal dan mendidik.
“Kami tidak melarang kegiatan ekonomi atau penyewaan sound system. Yang kami larang adalah ketika alat itu digunakan untuk kegiatan yang melanggar syariat dan merusak moral,” pungkasnya.
Fatwa haram atas sound horeq menjadi perhatian luas di Jawa Timur, bahkan didukung oleh MUI Jatim. Perbedaan antara sound system biasa dan sound horeq bukan pada alatnya, tapi pada fungsi dan konteks penggunaannya. Ini menunjukkan betapa ulama tidak anti-teknologi, tetapi tegas terhadap penggunaan teknologi yang mengarah pada kerusakan moral.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10).
Dengan pendekatan agama, budaya, dan sosial, ulama berharap masyarakat bisa membedakan antara hiburan yang sehat dan hiburan yang merusak.*
Post a Comment