Keindahan Dua Tadabbur
Menarik, ada satu kata tapi memiliki dua definisi yang berbeda. Setelah didalami, fenomena ilmiah ini mudah dimaklumi. Ternyata ada dua sudut pandang, tepatnya cabang keilmuan, yang digunakan untuk mendefinisikan kata ‘tadabbur’. Ibnu Qayyim rahimahullah menggunakan tasawuf, sementara Ash-Shabuny rahimahullah dengan ulumul qur’an.
Dalam kehidupan sehari-hari biasanya kata ‘tadabbur’ digunakan untuk tadabbur berdimensi ruhiyah, sebagaimana definisi dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah. Sementara frase ‘tadabbur ayat’ digunakan untuk untuk mentadabburi makna ayat Al-Qur’an, sebagaimana defisini dari Ash-Shabuny rahimahullah. Hal ini sudah dimaklumi oleh kebanyakan kaum muslimin di Indonesia.
Meskipun demikian ada satu fenomena menarik di literasi keislaman Indonesia. Betapa kedua tadabbur begitu baur, padu, dan berkelindan. Sehingga kesan yang diantarkan kepada para pembaca begitu kuat. Ayat-ayat Al-Qur’an terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sementara realitas sehari-hari terasa terhubung dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Hal ini terjadi karena ulama tafsir Indonesia memiliki pemahaman yang baik terhadap Al-Qur’an. Di sisi lain mereka juga dekat dengan kehidupan masyarakat, bahkan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Di sisi lain lagi mereka memahami tingkat literasi masyarakat begitu beragam. Oleh karena itu tafsir yang mereka suguhkan diupayakan dengan bahasa sederhana, tapi tetap terasa begitu indah.
Salah satu contohnya adalah tafsir Al-Azhar. Betapa sang penulis, Buya Hamka rahimahullah, tidak hanya membahas kandungan ayat. Akan tetapi beliau juga mendekatkan kandungan ayat tersebut ke kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga keterkaitan keduanya, ayat dan kehidupan sehari-hari, begitu terasa.
Dampaknya seorang pembaca tafsir Al-Azhar berkemungkinan semakin paham dan sadar. Akalnya tercerahkan, sedangkan jiwanya terhidupkan. Semangat bertindak menjadi begitu kuat, namun memiliki arah yang jelas.
Sebagai misal, dapatlah dibuka surat An-Naba’ ayat 33-36, “Dan perawan-perawan muda yang sebaya. Dan piala-piala yang melimpah-limpah. Tidak akan mereka dengar padanya kata-kata yang sia-sia dan tidak pula kata-kata dusta.”
Setelah menuliskan tafsir tiap ayatnya, Buya Hamka rahimahullah memberikan penjelasan, “Tepat sekali ayat 35 ini sebagai pengiring ayat 34 dan 33 yang menerangkan bahwa di taman-taman indah itu dilengkapi dengan perempuan-perempuan yang masih perawan dan sebaya semua. Di dalam dunia ini kalau terdapat tempat yang demikian, di sanalah bersarangnya segala nafsu kelamin yang cabul, yang disebut nafsu seks.”
Di paragraf berikutnya beliau menuliskan, “Jika di dunia ini taman-taman birahi yang kaya dengan segala buah-buahan dan anggur, minuman berbagai rupa, perempuan cantik yang menggiurkan, barulah meriah bila orang telah mabuk-mabuk.”
Beliau melanjutkan, “Maka suasana dalam surga bukanlah demikian. Bila disebutkan perempuan perawan yang masih sebaya itu, rasa seni dan keindahanlah yang tergetar, bukan nafsu kelamin.”
Nah ada satu teladan yang perlu ditangkap dari ulama tafsir Indonesia ini, juga ulama bidang ilmu lainnya. Bahwa keilmuan yang mendalam semakin lengkap jika ulama dekat bahkan berbaur dengan masyarakat. Sehingga keduanya, keilmuan dan realitas masyarakat, bisa berdialog untuk kemudian melahirkan arah maslahat dunia-akhirat.
Teladan ini bisa diaplikasikan di banyak ruang kehidupan, selain dakwah. Di pendidikan misalkan, seorang pendidik perlu memiliki keilmuan yang bagus sekaligus mengenali situasi dan kondisi murid-muridnya. Di bisnis, seorang pebisnis perlu memiliki ilmu bisnis, dan di saat bersamaan memahami konsumennya.
Jika diibaratkan langit dan bumi, ilmu bisa diibaratkan langit, sementara mengenali masyarakat diibaratkan bumi. Keduanya dipertemukan di ufuk. Ulama dan cendekiawan diharapkan menjadi ufuknya, mendekatkan dua sisi agar terlihat di satu titik. Agar keindahan mentari, saat terbit dan terbenam, menjadi lebih indah. Ketenangan, ketentraman, dan kedamaian terpancar kuat hingga merasuk ke sanubari manusia. Setelah itu terbangunlah hati yang sehat sebagai awal perikehidupan manusia bermartabat.
Wallahu a’lam.
Post a Comment