Doa Wong Cilik dan Penguasa Zalim
Oleh Budi Yuwono, M.Sn.
Di sebuah negeri yang dahulu dikenal adil dan makmur, perlahan-lahan langitnya mendung oleh kezaliman para penguasa. Hukum tak lagi berpihak pada kebenaran, tapi condong pada kekuasaan. Mereka yang duduk di singgasana tak lagi mendengar jerit lirih rakyat kecil, wong cilik yang hanya bisa pasrah menahan derita di tengah kerasnya hidup.
Wong cilik bukan tak tahu, bukan pula tak mampu bicara. Tapi suara mereka tenggelam oleh riuhnya pesta para penguasa. Ketika harga naik, perut tetap harus diisi. Ketika keadilan berat sebelah, mereka hanya bisa menunduk, menggenggam erat sisa-sisa harapan dalam diam.
Namun dalam diamnya wong cilik, terselip kekuatan yang tak terlihat: do’a. Mereka tidak melawan dengan senjata, tapi dengan air mata yang jatuh saat sujud. Mereka tidak menggugat dengan amarah, tapi memohon dengan sepenuh hati kepada Yang Maha Kuasa.
"Gusti, bukakan hati para penguasa, agar mereka sadar bahwa kekuasaan bukan untuk menyakiti, tapi untuk melayani. Beri mereka petunjuk agar kembali pada keadilan, sebelum Engkau mengambil semua yang mereka banggakan."
Karena wong cilik tahu, sekuat-kuatnya manusia, ia tetap hamba. Dan sekuat-kuatnya kekuasaan, tetap tunduk di bawah kehendak Tuhan.
Kezaliman mungkin bisa bertahan sejenak. Tapi do’a yang keluar dari hati yang tertindas, langsung naik ke langit tanpa penghalang. Maka berhati-hatilah, wahai para penguasa. Jangan biarkan kekuasaan membutakan mata hati. Karena jika do’a wong cilik sudah dikabulkan, tak ada benteng istana yang mampu menahan murka Tuhan.
Dan bagi kita semua, jangan pernah berhenti berharap. Karena dalam gelapnya kezaliman, secercah do’a bisa menjadi cahaya penuntun menuju perubahan.
Budi Yuwono, M.Sn., Seorang Dosen dan Aktivis Visual Grafis
Post a Comment