Menggugat “Jam Malam” dalam Kebijakan Pendidikan


Pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan istilah-istilah, termasuk istilah “jam malam”. Pendekatan lebih reflektif, edukatif, dan partisipatif justru akan menciptakan ruang dialog.

Oleh: Dr. Kholid Harras, M.Pd.

PENERAPAN 
 kebijakan “jam malam” bagi peserta didik di Jawa Barat melalui Surat Edaran Nomor 51/PA.03/DISDIK, tertanggal 23 Mei 2025, telah memicu perdebatan di ruang publik. Tak hanya dari segi teknis implementasinya, namun juga dari aspek pemilihan istilah itu sendiri.

Dalam surat edaran bertajuk “Penerapan Jam Malam Bagi Peserta Didik untuk Mewujudkan Generasi Panca Waluya Jawa Barat Istimewa”, disebutkan bahwa siswa dilarang berada di luar rumah pada pukul 21.00 hingga 04.00 WIB, kecuali untuk keperluan sekolah, aktivitas keagamaan yang diketahui orang tua, atau dalam kondisi darurat.

Kebijakan ini mulai berlaku Juni 2025, sebagai bagian dari program Panca Waluya, yang bertujuan membentuk generasi muda yang sehat (cageur), baik (bageur), benar (bener), cerdas (pinter), dan terampil (singer).

Meski tujuannya terpuji, penggunaan istilah “jam malam” justru dapat menimbulkan dilema konseptual dan psikologis, terutama jika ditinjau dari perspektif historis, linguistik, edukatif, dan kebijakan publik.

Perspektif Historis: Warisan dari Rezim Represif

Secara historis, “jam malam” identik dengan situasi darurat dan kontrol ketat terhadap warga sipil. Dalam era pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, kebijakan ini diberlakukan untuk mencegah serangan atau kerusuhan.

Di Indonesia, jam malam pernah diterapkan dalam status Darurat Operasi Militer (DOM) di Aceh (2003–2004), sebagai simbol pembatasan sipil demi keamanan negara.


Contoh lain di tingkat global, seperti darurat militer di Filipina era Ferdinand Marcos, kerusuhan Los Angeles (1992), hingga pandemi COVID-19, memperlihatkan bahwa istilah ini lekat dengan nuansa krisis dan otoritarianisme.


Karena itu, dalam benak publik, “jam malam” sarat dengan muatan represif—bukan edukatif.


Perspektif Linguistik: Konotasi dan Beban Semantik

Secara linguistik, istilah jam malam berasal dari padanan bahasa Inggris curfew, yang berakar dari bahasa Prancis couvre-feu (menutup api). Pada mulanya, ia merujuk pada waktu warga harus memadamkan api untuk mencegah kebakaran.


Namun dalam konteks Indonesia modern, istilah ini membawa konotasi pembatasan, pengawasan, bahkan ancaman sanksi. Dalam struktur semantik, ia tidak netral.


Pemakaiannya dalam ranah pendidikan berpotensi membentuk persepsi bahwa peserta didik adalah obyek yang harus dikontrol, bukan subjek yang perlu dibina melalui pendekatan persuasif.


Perspektif Edukatif: Diksi Menentukan Persepsi

Dalam kebijakan pendidikan, pemilihan istilah sangat penting. Bila niatnya membentuk karakter, maka pendekatan bahasa pun harus reflektif dan dialogis. Istilah “jam malam” cenderung bernuansa koersif, bukan partisipatif.


Alternatif istilah seperti “Pembatasan Aktivitas Malam untuk Peserta Didik” atau “Aturan Waktu Malam Siswa” terdengar lebih komunikatif, humanistik, dan mendidik. Ini akan lebih mudah diterima publik, sekaligus memperkuat citra bahwa negara hadir sebagai pembimbing, bukan pengawas yang menakutkan.


Kita bisa belajar dari kebijakan masa lalu, seperti ketika Gubernur Dedi Mulyadi menyebut tempat pembinaan siswa bermasalah sebagai “barak”—istilah yang langsung memicu resistensi publik.

Seandainya digunakan istilah “asrama pembinaan,” efek psikologis dan penerimaan masyarakat bisa jadi berbeda.


Perspektif Kebijakan Publik: Bahasa Menciptakan Realitas

Dalam perumusan kebijakan publik, istilah bukan sekadar alat teknis, melainkan medium komunikasi yang membentuk realitas sosial. Bahasa kebijakan menentukan bagaimana kebijakan itu dimaknai, diterima, dan dijalankan.


Selama pandemi, istilah seperti “PSBB”, “PPKM Level 4”, atau “new normal” sempat membingungkan publik karena kurang komunikatif.


Demikian pula, penggunaan istilah “jam malam” dalam kebijakan pendidikan dikhawatirkan menciptakan jarak emosional antara pemerintah dan masyarakat.


Alih-alih memicu kedisiplinan, istilah itu bisa menimbulkan ketakutan atau perlawanan pasif. Dalam psikologi kebijakan, keberhasilan implementasi amat ditentukan oleh bagaimana kebijakan itu dipahami—dan dipersepsikan—oleh sasaran utamanya.


Bahasa Menentukan Makna, Makna Menentukan Arah

Agar kebijakan ini benar-benar efektif dan mendidik, pemerintah perlu mempertimbangkan ulang istilah yang digunakan. Pendekatan yang lebih reflektif, edukatif, dan partisipatif akan menciptakan ruang dialog yang lebih sehat antara negara dan masyarakat.


Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah cermin nilai, niat, dan arah kebijakan. Maka, bagaimana kita menamai sebuah kebijakan akan sangat menentukan bagaimana masyarakat memaknainya—dan apakah mereka bersedia menjalankannya.*


Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, UPI

Sumber www.hidayatullah.com

Powered by Blogger.
close