Indonesia Darurat Konsumsi Rokok!
Pemerintah mengumbar mimpi “generasi emas 2045” tapi tidak berani melawan industri rokok yang menyebabkan kesehatan nasional boncos dan penyebab rusaknya masa depan bangsa.
Oleh: Tulus Abadi
Dikutip dari media Hidayatullah.com | SETIAP 31 Mei, dunia memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), atau World No Tobacco Day (WNTD). Sejak dicanangkan oleh WHO, hari ini menjadi pengingat global akan bahaya tembakau dan pentingnya pengendalian konsumsi rokok. Namun, Indonesia—dengan kekhasannya yang menyedihkan—selalu menjadi pengecualian.
Saat lebih dari 180 negara di dunia telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Indonesia justru memilih berpangku tangan. Padahal tahun ini, tema global HTTS 2025 adalah “Unmasking the Tobacco Industry” — membongkar topeng industri rokok yang licik, manipulatif, dan penuh tipu daya. Sayangnya, Indonesia bukan hanya tidak membuka topeng itu, tapi justru melindunginya!
Darurat Rokok: Pemerintah Tak Bisa Lagi Bungkam
Pertama, Paradigma Menyesatkan: Rokok Dianggap Normal
Kita hidup di negeri yang gagal memahami rokok sebagai produk adiktif berbahaya. Pemerintah, pembuat kebijakan, dan sebagian masyarakat masih memposisikan rokok sebagai “barang biasa”, legal dan lumrah dikonsumsi, bahkan oleh anak-anak. Ini bukan sekadar kebodohan, tapi kejahatan kolektif kebijakan!
Rokok adalah produk adiktif yang mestinya dikendalikan secara ketat, bukan dinormalisasi.
Kedua, Darurat Sosial: Rokok Menjadi Budaya Ugal-Ugalan
Data tak bisa dibantah. Perokok aktif di Indonesia mencapai 73 juta jiwa. Anak-anak kita pun tak luput: prevalensi perokok anak telah menyentuh angka 7,4%. Lebih dari 76% pria dewasa di Indonesia adalah perokok aktif—tertinggi di dunia!
Ditambah lagi ledakan rokok elektronik yang penggunaannya meningkat 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Pemerintah tahu ini, tapi nyaris tak berbuat apa-apa. Apa ini bukan kelalaian yang disengaja?
Ketiga, Darurat Ekonomi: Rokok Membuat Rakyat Miskin
Dalam rumah tangga miskin, alokasi belanja rokok mengalahkan kebutuhan pangan. Rerata mencapai 10-11% dari total pengeluaran—lebih besar dari belanja lauk-pauk yang hanya sekitar 3,5%.
Ini adalah potret kegagalan negara dalam melindungi warganya dari produk destruktif. Lebih jauh, beban ekonomi akibat rokok mencapai Rp 410,75 triliun per tahun. Tapi kebijakan pengendalian? Mandul total!
Keempat, Darurat Kesehatan: Sistem Jebol, Negara Boncos
BPJS Kesehatan menjadi korban nyata. Tahun 2023, BPJS harus menggelontorkan Rp 34,8 triliun untuk membiayai penyakit katastropik, seperti jantung, kanker, stroke, dan diabetes—penyakit yang sangat dipengaruhi oleh konsumsi rokok.
Angkanya naik signifikan dari tahun sebelumnya. Ini bukan lagi sekadar masalah kesehatan, tapi krisis anggaran kesehatan nasional yang ditimbulkan oleh rokok.
Kelima, Darurat Lingkungan: Sampah Rokok Mengancam Ekosistem
Puntung rokok adalah salah satu jenis sampah plastik terbanyak yang mencemari pesisir Indonesia. Bahkan bisa dikategorikan sebagai limbah B3. Kini, rokok elektronik menambah daftar bencana lingkungan dengan limbah baterai dan plastiknya.
Pemerintah tahu, tapi memilih diam. Regulasi pengelolaan limbah? Tidak jalan. Edukasi? Hampir tak ada. Penindakan? Nol besar.
Keenam, Darurat Regulasi: Negara Tunduk pada Industri
Inilah titik nadirnya. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi FCTC. Bahkan ketika PP 28/2024 tentang Kesehatan sudah disahkan, implementasinya dimangkrakkan.
Mengapa? Karena kekuatan industri rokok telah menyusup hingga ke jantung kekuasaan: kementerian, istana, bahkan parlemen. Survei SEATCA 2023 menyebut Indonesia sebagai negara dengan tingkat interferensi industri rokok tertinggi di dunia, dengan skor 84. Ini bukti nyata bahwa negara telah disandera!
Mitigasi Bencana: Harus Ada Keberanian Politik
Pertama, Reformasi Fiskal Rokok: Bukan Sekadar Naik Cukai
Kenaikan cukai yang setengah hati, ditambah sistem tiered yang rumit, hanya menguntungkan industri dan gagal melindungi masyarakat. Pemerintah harus berani menghapus sistem multi-tier, menaikkan cukai secara signifikan, dan memberantas rokok ilegal.
Sayangnya, penegakan hukum selama ini hanya menjadi formalitas. Permenkeu No. 72/2024 yang mewajibkan 10% DBH CHT untuk penegakan hukum pun seperti hanya menjadi dokumen pajangan.
Kedua, Terapkan PP 28/2024: Hentikan Kemandekan yang Memalukan
PP 28/2024 bisa menjadi instrumen pengendalian rokok yang kuat. Tapi implementasinya tak berjalan karena intervensi industri. Pemerintah harus segera menertibkan aparatnya sendiri, mendorong pelaksanaan regulasi, dan menjadikan rokok sebagai musuh kesehatan publik, bukan mitra ekonomi negara.
Indonesia Tak Akan Capai Bonus Demografi Jika Rokok Tak Dikendalikan
Pemerintah mengumbar mimpi tentang generasi emas 2045 dan bonus demografi 2030. Tapi mari realistis: bagaimana mungkin bonus demografi diraih jika generasi mudanya dibanjiri iklan rokok, dijejali nikotin sejak SMP, dan tumbuh dalam budaya merokok yang didiamkan negara?
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) tidak akan bisa menyelamatkan bangsa ini dari jeratan rokok, jika konsumsi tembakau tetap dibiarkan leluasa seperti sekarang. Jika pemerintah sungguh ingin memperbaiki nasib rakyat, langkah pertama yang harus dilakukan adalah: berani melawan industri rokok dan menghentikan tunduk pada kepentingan ekonomi sesaat yang merusak masa depan bangsa.
Tutup Topeng Industri Rokok
Indonesia tidak kekurangan data, regulasi, ataupun nalar. Yang kita kekurangan hanyalah keberanian politik. Jangan biarkan negeri ini terus menjadi surga bagi industri rokok dan neraka bagi rakyatnya. Jika pemerintah terus bersikap lembek dan permisif, maka kelak sejarah akan mencatat: negara ini hancur bukan karena tembakau, tapi karena para pengambil kebijakannya tidak punya nyali untuk melawannya.
Selamat Hari Tanpa Tembakau 2025. Semoga ini bukan sekadar seremoni kosong, tapi menjadi awal kesadaran politik untuk menyelamatkan bangsa.*
Sekjend Komnas Pengendalian Tembakau, dan Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI)
Post a Comment