Rizqi Kita, Soal Rasa
![]() |
| www.salimafillah.com |
Oleh
Salim Afillah
Aku
tahu, rizqiku takkan diambil orang, karenanya hatiku tenang..
Aku
tahu, ‘amalku takkan dikerjakan orang, karenanya kusibuk berjuang..
-Hasan
Al Bashri-
Pemberian
uang yang sama-sama sepuluh juta, bisa jadi sangat berbeda rasa penerimaannya.
Kadang ia ditentukan oleh bagaimana cara menghulurkannya.
Jika
terada dalam amplop coklat yang rapi lagi wangi, dihulurkan dengan senyum yang
harum dan sikap yang santun, betapa berbunga-bunga kita menyambutnya. Apatah
lagi ditambah ucapan yang sopan dan lembut, “Maafkan sangat, hanya ini yang
dapat kami sampaikan. Mohon diterima, dan semoga penuh manfaat di jalan
kebaikan.”
Ah,
pada yang begini, jangankan menerima, tak mengambilnya pun tetap nikmat
rasanya. Semisal kita katakan, “Maafkan Tuan, moga berkenan memberikannya pada
saudara saya yang lebih memerlukan.” Lalu kita tahu, ia sering berjawab, “Wah,
jika demikian, kami akan siapkan yang lebih baik dan lebih berlimpah untuk
Anda. Tapi mohon tunggu sejenak.”
Betapa
berbeda rasa itu, dengan jumlah sepuluh juta yang berbentuk uang logam ratusan
rupiah semuanya. Pula, ia dibungkus dengan karung sampah yang busuk baunya.
Diberikan dengan cara dilempar ke muka, diiringi caci maki yang tak
henti-henti. Betapa sakitnya. Betapa sedihnya. Sepuluh juta itu telah hilang
rasa nikmatnya, sejak mula ia diterima.
Inilah
di antara hakikat rizqi, bahwa ia bukan soal berapa. Sungguh ia adalah nikmat
yang kita rasa. Sebab sesungguhnya, ia telah tertulis di langit, dan diterakan
kembali oleh malaikat ketika ruh kita ditiupkan ke dalam janin di kandungan
Ibunda. Telah tertulis, dan hendak diambil dari jalan manapun, hanya itulah
yang menjadi jatah kita. Tetapi berbeda dalam soal rasa, karena berbeda cara
menghulurkannya. Dan tak samanya cara memberikan, sering ditentukan bagaimana
adab kita dalam menjemput dan menengadahkan tangan padaNya.
Rizqi
memiliki tempat dan waktu bagi turunnya. Ia tak pernah terlambat, hanyasanya hadir
di saat yang tepat.
“Janganlah
kalian merasa bahwa rizqi kalian datangnya terlambat”, demikian sabda
Rasulullah yang dibawakan oleh Imam ‘Abdur Razzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim,
“Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba meninggal, hingga telah datang
kepadanya rizqi terakhir yang ditetapkan untuknya. Maka tempuhlah jalan yang
baik dalam mencari rizqi, yaitu dengan yang halal dan meninggalkan yang
haram.”
Jika
jodoh adalah bagian dari rizqi, boleh jadi berlaku pula kaidah yang sama. Sosok
itu telah tertulis namanya. Tiada tertukar, dan tiada salah tanggal. Tetapi
rasa kebersamaan, akan ditentukan oleh bagaimana adab dalam mengambilnya. Bagi
mereka yang menjaga kesucian, terkaruniakanlah lapis-lapis keberkahan. Bagi
mereka yang mencemarinya dengan hal-hal mendekati zina, ada kenikmatan yang kan
hilang meski pintu taubat masih dibuka lapang-lapang. Sebab amat berbeda, yang
dihulurkan penuh keridhaan, dibanding yang dilemparkan penuh kemurkaan.
Rizqi
adalah ketetapan. Cara menjemputnya adalah ujian. Ujian yang menentukan rasa
kehidupan. Di lapis-lapis keberkahan dalam setetes rizqi, ada perbincangan soal
rasa. Sebab ialah yang paling terindra dalam hayat kita di dunia.
***
Di
antara makna rizqi adalah segala yang keluar masuk bagi diri dengan anugrah
manfaat sejati. Nikmat adalah rasa yang terindra dari sifat maslahatnya. Kasur
yang empuk dapat dibeli, tapi tidur yang nyenyak adalah rizqi. Ia dapat saja
terkarunia di alas koran yang lusuh, dan bukan di ranjang kencana yang teduh.
Hidangan yang mahal dapat dipesan, tetapi lezatnya makan adalah rizqi. Ia dapat
saja terkarunia di wadah daun pisang bersahaja, bukan di piring emas dan gelas
berhias permata.
Atau
bahkan, ada yang memandang seseorang tampak kaya raya, tapi sebenarnya Allah
telah mulai membatasi rizqinya.
Ada
yang bergaji 100 juta rupiah setiap bulannya, tapi tentu rizqinya tak sebanyak
itu. Sebab ketika hendak meminum yang segar manis dan mengudap yang kue yang
legit, segera dikatakan padanya, “Awas Pak, kadar gulanya!” Ketika hendak
menikmati hidangan gurih dengan santan mlekoh dan dedagingan yang lembut,
cepat-cepat diingatkan akannya, “Awas Pak, kolesterolnya!” Hatta ketika sup
terasa hambar dan garam terlihat begitu menggoda, bergegaslah ada yang
menegurnya, “Awas Pak, tekanan darahnya!”
Rasa
nikmat itu telah dikurangi.
Lagi-lagi,
ini soal rasa. Dan uang yang dia himpunkan dari kerja kerasnya, amat banyak
angka nol di belakang bilangan utama, disimpan rapi di Bank yang sangat menjaga
rahasia, jika dia mati esok pagi, jadi rizqi siapakah kiranya? Apa yang kita
dapat dari kerja tangan kita sendiri dan kita genggam erat hari ini, amat
mungkin bukan hak kita. Seperti hartawan yang mati meninggalkan simpanan
bertimbun. Mungkin itu mengalir ke ahli warisnya, atau bahkan musuhnya. Allah
tak kekurangan cara untuk mengantar apa yang telah ditetapkanNya pada siapa
yang dikehendakiNya.
Rizqi
sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka gaji.
Seorang
pemilik jejaring rumah makan dari sebuah kota besar Pulau Jawa, demikian cerita
shahibul hikayat yang kami percaya, dengan penghasilan yang besarnya
mencengangkan, punya kebiasaan yang sungguh lebih membuat terkesima. Sepanjang
hidupnya, tak pernah dia bisa berbaring di kasur, apalagi ranjang berpegas. Dia
hanya bisa beristirahat jika menggelar tikar di atas lantai dingin, tepat di
depan pintu.
Rizqi
sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli.
Ada
lagi kisah tentang seorang pemilik saham terbesar sebuah maskapai penerbangan
yang terhitung raksasa di dunia. Armada pesawat yang dijalankan perusahaannya
lebih dari 100 jumlahnya. Tetapi dia menderita hyperphobia, yakni rasa takut
terhadap ketinggian. Seumur hidupnya, yang bersangkutan tak pernah berani naik
pesawat.
Rizqi
sama sekali bukan soal apa yang dikuasai.
Sebaliknya
pula, ada seorang lelaki bersahaja yang tidak mampu membeli mobil sepanjang
hidupnya. Tapi sungguh Allah telah menetapkan bahwa rizqinya adalah naik mobil
ke mana-mana. Maka para tetangga selalu berkata bergiliran padanya, “Mas,
tolong hari ini pakai mobil saya untuk kegiatannya ya. Saya senang kalau Mas yang
pakai. Sungguh karenanya terasa ada berkah buat kami sekeluarga.” Dan pemilik
mobil pergi bekerja ke kantornya dengan mengayuh sepeda. Sebab itulah yang
disarankan dokter padanya.
Rizqi
sama sekali bukan soal apa yang dimiliki.
***
Dzat
Yang Mencipta kita, sekaligus menjamin rizqi bagi penghidupan kita, adalah
Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur segala urusan kita. Dialah Allah Subhanahu wa
Ta’ala, tiada sekutu bagiNya. Maka bagaimana kiranya, jika anugrah dariNya
justru kita gunakan untuk mendurhakaiNya? Maka apa jadinya, jika dengan
karuniaNya kita malah tenggelam dalam maksiat dan dosa?
“Sesungguhnya
seseorang dihalangi dari rizqinya”, demikian Rasulullah bersabda sebagaimana
dicatat oleh Imam Ahmad, “Disebabkan dosa yang dilakukannya.”
Ada
beberapa keterangan ‘ulama tentang dosa menghalangi rizqi ini, yang selaiknya
kita simak. Pertama, bahwa memang yang bersangkutan terhalang dari rizqinya,
hingga ke bentuk zhahir rizqi itu. Ini sebagaimana firman Allah tentang dakwah
Nuh pada kaumnya.
“Maka
aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian. Sesungguhnya
Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan
lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian
kebun-kebun dan mengadakan di dalamnya sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12)
“Maknanya”,
demikian ditulis Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirul
Quranil ‘Azhim, “Jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun
kepada-Nya dan kalian senantiasa mentaatiNya, niscaya Dia akan membanyakkan
rizqi kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit.”
“Selain
itu”, lanjut beliau, “Dia juga akan mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi,
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk
kalian, membanyakkan harta dan anak-anak kalian, menjadikan kebun-kebun yang di
dalamnya terdapat bermacam-macam buah untuk kalian, serta mengalirkan
sungai-sungai di antara kebun-kebun itu untuk kalian.”
Jika
bertaubat menjadikan berlimpahnya bentuk rizqi, maka berdosa berarti membatalkan
semua itu. Ini pemahaman pembalikannya.
Keterangan
yang kedua, bahwasanya yang dihalangi dari si pendosa adalah rasa nikmat yang
dikaruniakan Allah dari berbagai bentuk rizqi tersebut. Rizqi tetap hadir, tapi
rasa nikmatnya dicabut. Rizqi tetap turun, tapi rasa lezatnya dihilangkan.
“Maka”, demikian menurut Imam An Nawawi, “Karena dosa yang menodai hatinya,
hamba tersebut kehilangan kepekaan untuk menikmati rizqinya dan mensyukuri
nikmatnya. Dan ini adalah musibah yang sangat besar.”
Hujjah
bahwa semua bentuk rizqi itu tetap turun, ada dalam berbagai hadits Rasulillah.
Ada yang sudah kita sebut, demikian pula yang berikut ini:
“Sesungguhnya
Jibril mengilhamkan ke dalam hatiku”, demikian sabda Rasulullah dalam riwayat
Imam Ath Thabrani dan Al Baihaqi, “Bahwa tidak ada satu pun jiwa yang meninggal
kecuali telah sempurna rezekinya. maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah
dalam mencari rezeki. Jangan sampai lambatnya rezeki menyeret kalian untuk
mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada pada sisi Allah
tidak akan bisa diperoleh dengan bermaksiat kepada-Nya.”
“Apa
yang ada di sisi Allah”, demikian lanjut Imam An Nawawi, “Adalah ridhaNya yang
menjadikan rizqi itu ternikmati di dunia, berkah senantiasa, dan menjadi pahala
di akhirat. Maka memang ia tak dapat diraih dengan kemaksiatan dan dosa.”
“Adapun
ayat dalam Surah Nuh”, terusnya, “Khithab da’wahnya ditujukan kepada orang
kafir, yang meskipun mereka mengingkari Allah dan menyekutukanNya, tapi Allah
tidak memutus rizqi mereka secara mutlak. Akan tetapi, jika mereka beristighfar
dan bertaubat, sesungguhnya karunia yang lebih besar pastilah Allah limpahkan.”
Menghimpun
kedua catatan ini, amat jadi renungan sebuah kisah tentang Imam Hasan Al
Bashri. Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada beliau. “Sesungguhnya
aku”, ujarnya pada Tabi’in agung dari Bashrah itu, “Melakukan banyak dosa. Tapi
ternyata rizqiku tetap lancar-lancar saja. Bahkan lebih banyak dari
sebelumnya.”
Sang
Imam tersenyum prihatin. Beliau lalu bertanya, “Apakah semalam engkauqiyamullail wahai Saudara?”
“Tidak”,
jawabnya heran.
“Sesungguhnya
jika Allah langsung menghukum semua makhluq yang berdosa dengan memutus
rizqinya”, jelas Hasan Al Bashri, “Niscaya semua manusia di bumi ini sudah
habis binasa. Sungguh dunia ini tak berharga di sisi Allah walau sehelai sayap
nyamukpun, maka Allah tetap memberikan rizqi bahkan pada orang-orang yang kufur
kepadaNya.”
“Adapun
kita orang mukmin”, demikian sambung beliau, “Hukuman atas dosa adalah
terputusnya kemesraan dengan Allah, Subhanahu
wa Ta’ala.”
***
Lagi-lagi
terrenungi, bahwa di lapis-lapis keberkahan, ini soal rasa. Semoga Allah
melimpahkan rizqiNya kepada kita, dan menjaga kita dari bermaksiat padaNya.
Dengan begitu, sempurnalah datangnya nikmat itu dengan kemampuan kita menikmati
rasa lezatnya, lembutnya, dan harumnya. Di lapis-lapis keberkahan, soal rasa
adalah terjaganya kita dari dosa-dosa.
sepenuh
cinta, dinukil dari:
Lapis-Lapis
Keberkahan, Setitis Rizqi
Salim
Afillah, Penulis Buku
twitter @salimafillah


Post a Comment