Dunia Sekolah : Kompetensi Guru
Oleh : RUA Zainal Fanani
Ini adalah sore yang agak santai.
Kebetulan, Pak Ruslan dan Bu Ruslina sama-sama tidak ada acara. Seperti biasa, bila tidak banyak kesibukan Pak Ruslan memilih untuk menggunting-gunting koran, membuat kliping.
“Ada artikel di koran yang
menarik untuk dikliping ya, Bi?”
“Wah ya jelas banyak. Kan Abi sudah tiga minggu ini tidak membuat kliping.” Pak Ruslan sibuk membolak-balik koran-koran bekas untuk dipilih yang layak dikliping. “Artikel bagus-bagus begini sayangkan
bila terbuang. Suatu saat nanti pasti banyak gunanya untuk dibaca lagi.”
Bu Ruslina sendiri sangat mendukung hobi suaminya itu. Selain mengasyikan, hasil kliping itu juga sering dibaca di sela-sela kesibukannya mengatur rumah. Seperti biasa, ketika Pak Ruslan sibuk menggunting-gunting, tanpa diminta Bu Ruslina membuatkan secangkir teh hangat. Sore itupun Bu Ruslina melakukan hal yang sama.
“Teh hangatnya, Bi.”
“Syukron, Ummi memang istri teladan." Goda Pak Ruslan.
Bu Ruslina tersenyum sambil tak lupa sedikit memonyongkan bibirnya. Pak Ruslan tertawa lebar.
Sejurus kemudian, baik Bu Ruslina maupun Pak Ruslan terlihat suntuk membaca dan memilih-milih isi koran yang menarik.
Tiba-tiba Bu Ruslina mengerutkan keningnya. “Lho Pak, ini kok ada berita tentang demo para calon guru di luar negeri, calon guru kok demo.”
“Oh itu. Itu berita tentang demo mahasiswa akademik kependidikan di sebuah negara di Amerika Latin,” jawab Pak Ruslan. “Ya, siapa saja boleh demo, asal caranya santun.”
Bu Ruslina menggeleng-gelengkan kepalanya.” Abi ini nggak baca, kok bisa tahu isinya.”
“Lho, itukan berita beberapa hari
yang lalu. Abi juga sudah baca.”
“Isi berita lengkapnya apa sih, Bi?” Bu Ruslina tampak tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
“Mahasiswa calon guru itu memprotes pemerintah negaranya karena syarat menjadi guru ditingkatkan dari lulusan akademik diploma menjadi sarjana, yah maksud pemerintah disana
baik juga, meningkatkan kompetensi para gurunya.” jawab Pak Ruslan.
“Kompetensi Guru? Lho, kemarinkan
Abi baru menerangkan pada Ummi tentang kompetensi siswa. Ini kok sekarang
kompetensi guru.”
“Iya dong, Mi. Setiap profesi apa sajakan
harus ditangani oleh orang yang benar-benar kompeten, orang-orang yang memiliki
wawasan, pengetahuan, kemampuan, mentalitas, keterampilan, dan penguasaan atas
segala aspek yang berkenaan dengan profesi itu. Guru juga begitu. Tidak semua
orang bisa menjadi guru. Pasti ada syarat-syaratnya. Pendidikan di suatu negara
pasti akan rendah kualitasnya bila para gurunya mempunyai kompetensi yang
rendah dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu sangat masuk akal bila
pemerintah sebuah negara mendorong pada guru dan calon gurunya untuk
meningkatkan kompetensinya.”
“Abi kok jadi panjang begitu jawabannya. Sewot ya Bi?”
“Ah nggak. Abikan paling
bersemangat kalau diajak bicara tentang peningkatan mutu pendidikan melalui
peningkatan kompetensi guru dalam mengajar.”
Bu Ruslina terdiam sesaat. Ia mencoba mencermati isi berita tentang demo calon guru itu. “Hubungannya kompetensi guru dengan calon guru ini apa, Bi?”
“Meningkatkan kualifikasi pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi guru. Dulu misalnya, para guru kita cukup lulusan SPG atau PGA yang setingkat SLTA. Sekarang guru SD pun harus lulusan S1 alias sarjana. Kalau jenjangnya lebih tinggi, ilmu dan bekalnya akan lebih banyak dan lebih komplit.”
“Tapikan itu tidak jaminan,
Bi. Ada juga
loh sarjana pendidikan yang mengajarnya nggak
bagus. Itu Ummi dengar-dengar dari orang loh.”
“Tentu saja kemungkinan itu ada, oleh karenanya, yang Abi dengar dari para petinggi Departemen Pendidikan, kedepan akan diadakan uji kompetensi untuk para guru secara periodik.”
“Yang tidak lulus?”
“Yang tidak lulus harus mengikuti pendidikan, pelatihan, atau pembinaan khusus sehingga mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan.”
“Wah, Ummi ini pengandai-andainya kok sampai begitu. Ya, meski tidak kita inginkan, memang itu bisa saja terjadi. Kalau sudah dilakukan berbagai prosedur peningkatan kualifikasi pendidikan tetap tidak memenuhi standar kompetensi, ya dengan terpaksa dinyatakan tidak kompeten sebagai guru. Apa boleh buat.”
“Selain dengan peningkatan kualifikasi pendidikan dan uji kompetensi, Bi?”
“Masih banyak pendekatan yang akan ditempuh. Misalnya dengan pembinaan internal di sekolah, dengan supervisi profesional, baik dari para pengawas maupun dari kepala sekolah. Evaluasi dari lembaga independen, komite sekolah, masyarakat, dan sebagainya.Para guru juga harus mengikuti
forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru).
Banyaklah, Mi.”
Mendengar penjelasan Pak Ruslan, Bu Ruslina tampak manggut-manggut. “Berat juga ya Bi, tantangan para guru kita di masa depan.”
“Kita tidak punya pilihan lain, pendidikan adalah masa depan sebuah bangsa. Karenanya, harus ditangani oleh orang-orang yang memenuhi syarat. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi juga makin maju.Para
guru kita dituntut untuk terus menerus menyesuaikan pengetahuannya dengan
perkembangan jaman. Kita harus ingat, bangsa kita juga harus bersaing dengan
bangsa-bangsa lain. Semua tugas berat itu harus dibebankan kepundak para insan
pendidikan, memang idealnya yang menjadi guru dan para pendidik itu adalah
orang-orang yang beriman, berkarakter, cerdas dan penuh dedikasi.”
Bu Ruslina kembali terdiam. Ia memahami kebenaran kata-kata Pak Ruslan.
“Bi, berarti suatu saat nanti Abi juga harus uji kompetensi? Wah, jangan sampai tidak lulus ya, Bi. Nanti Ummi jadi ikut malu.”
Dan Pak Ruslan tertawa.
sumber gambar : kemdiknas.go.id
Ini adalah sore yang agak santai.
Kebetulan, Pak Ruslan dan Bu Ruslina sama-sama tidak ada acara. Seperti biasa, bila tidak banyak kesibukan Pak Ruslan memilih untuk menggunting-gunting koran, membuat kliping.
“
“Wah ya jelas banyak. Kan Abi sudah tiga minggu ini tidak membuat kliping.” Pak Ruslan sibuk membolak-balik koran-koran bekas untuk dipilih yang layak dikliping. “Artikel bagus-bagus begini sayang
Bu Ruslina sendiri sangat mendukung hobi suaminya itu. Selain mengasyikan, hasil kliping itu juga sering dibaca di sela-sela kesibukannya mengatur rumah. Seperti biasa, ketika Pak Ruslan sibuk menggunting-gunting, tanpa diminta Bu Ruslina membuatkan secangkir teh hangat. Sore itupun Bu Ruslina melakukan hal yang sama.
“Teh hangatnya, Bi.”
“Syukron, Ummi memang istri teladan." Goda Pak Ruslan.
Bu Ruslina tersenyum sambil tak lupa sedikit memonyongkan bibirnya. Pak Ruslan tertawa lebar.
Sejurus kemudian, baik Bu Ruslina maupun Pak Ruslan terlihat suntuk membaca dan memilih-milih isi koran yang menarik.
Tiba-tiba Bu Ruslina mengerutkan keningnya. “Lho Pak, ini kok ada berita tentang demo para calon guru di luar negeri, calon guru kok demo.”
“Oh itu. Itu berita tentang demo mahasiswa akademik kependidikan di sebuah negara di Amerika Latin,” jawab Pak Ruslan. “Ya, siapa saja boleh demo, asal caranya santun.”
Bu Ruslina menggeleng-gelengkan kepalanya.” Abi ini nggak baca, kok bisa tahu isinya.”
“Lho, itu
“Isi berita lengkapnya apa sih, Bi?” Bu Ruslina tampak tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
“Mahasiswa calon guru itu memprotes pemerintah negaranya karena syarat menjadi guru ditingkatkan dari lulusan akademik diploma menjadi sarjana, yah maksud pemerintah di
“Kompetensi Guru? Lho, kemarin
“Iya dong, Mi. Setiap profesi apa saja
“Abi kok jadi panjang begitu jawabannya. Sewot ya Bi?”
“Ah nggak. Abi
Bu Ruslina terdiam sesaat. Ia mencoba mencermati isi berita tentang demo calon guru itu. “Hubungannya kompetensi guru dengan calon guru ini apa, Bi?”
“Meningkatkan kualifikasi pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi guru. Dulu misalnya, para guru kita cukup lulusan SPG atau PGA yang setingkat SLTA. Sekarang guru SD pun harus lulusan S1 alias sarjana. Kalau jenjangnya lebih tinggi, ilmu dan bekalnya akan lebih banyak dan lebih komplit.”
“Tapi
“Tentu saja kemungkinan itu ada, oleh karenanya, yang Abi dengar dari para petinggi Departemen Pendidikan, kedepan akan diadakan uji kompetensi untuk para guru secara periodik.”
“Yang tidak lulus?”
“Yang tidak lulus harus mengikuti pendidikan, pelatihan, atau pembinaan khusus sehingga mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan.”
“Wah, Ummi ini pengandai-andainya kok sampai begitu. Ya, meski tidak kita inginkan, memang itu bisa saja terjadi. Kalau sudah dilakukan berbagai prosedur peningkatan kualifikasi pendidikan tetap tidak memenuhi standar kompetensi, ya dengan terpaksa dinyatakan tidak kompeten sebagai guru. Apa boleh buat.”
“Selain dengan peningkatan kualifikasi pendidikan dan uji kompetensi, Bi?”
“Masih banyak pendekatan yang akan ditempuh. Misalnya dengan pembinaan internal di sekolah, dengan supervisi profesional, baik dari para pengawas maupun dari kepala sekolah. Evaluasi dari lembaga independen, komite sekolah, masyarakat, dan sebagainya.
Mendengar penjelasan Pak Ruslan, Bu Ruslina tampak manggut-manggut. “Berat juga ya Bi, tantangan para guru kita di masa depan.”
“Kita tidak punya pilihan lain, pendidikan adalah masa depan sebuah bangsa. Karenanya, harus ditangani oleh orang-orang yang memenuhi syarat. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi juga makin maju.
Bu Ruslina kembali terdiam. Ia memahami kebenaran kata-kata Pak Ruslan.
“Bi, berarti suatu saat nanti Abi juga harus uji kompetensi? Wah, jangan sampai tidak lulus ya, Bi. Nanti Ummi jadi ikut malu.”
Dan Pak Ruslan tertawa.
sumber gambar : kemdiknas.go.id
Post a Comment