Sekolahnya Para Raja
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Dijuluki sekolahnya para raja, boarding school alias sekolah berasrama yang satu ini menerima murid semenjak lulus SD. Jangan harap bisa masuk sekolah ini kalau mendaftarnya setelah lulus SMP.
Berdiri di atas lahan seluas 28 hektar, sekolah ini memberlakukan aturan yang sangat ketat. Publikasi sangat dibatasi, termasuk untuk sekolah maupun guru-guru secara pribadi. Anak-anak? Apalagi. Mereka dijauhkan dari media sosial, gadget dan ekspos ke publik. Mereka bersungguh-sungguh, belajar dengan gigih, tidak sibuk mencari pujian.
Sekolah di tempat tersebut tidak bisa santai. Tidak bisa hanya sibuk menuruti minat, kemauan dan hobby. Ada berbagai kegiatan wajib untuk mengembangkan kepribadian, disiplin, ketangguhan, kesiapan memegang tanggung-jawab sekaligus belajar bagaimana mengelola diri untuk melaksanakan tanggung-jawab tersebut. Mereka juga ditempa untuk berani mengambil resiko sekaligus mempelajari manajemen resiko. Jadi tidak ngasal.
Ada beberapa sekolah semacam ini di berbagai belahan dunia. Di Afrika, Australia, Erpa, Asia maupun Amerika ada. Berbeda-beda sekolahnya, tetapi ada satu kesamaan, yakni anak-anak itu ditempa, diarahkan dan dilatih fisik dan mentalnya. Perkataan Geoffrey Michael Hopf,veteran Angkatan Laut Amerika yang menulis novel The End, agaknya pas menggambarkan apa yang mereka pegangi.
"Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times," begitu Geoffrey Michael Hopf. “Masa-masa sulit melahirkan lelaki yang tangguh; lelaki tangguh menciptakan masa-masa gemilang; masa-masa gemilang melahirkan laki-laki lemah; dan para laki-laki lemah membawa kembali masa-masa sulit.”
Tetapi apakah untuk berlatih menghadapi kesulitan mereka harus hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan yang amat sangat? Tidak. Itu sebabnya mereka sengaja menempa, menghadapkan anaknya pada kesulitan yang dirancang untuk mendidik anak berkembang. Dan untuk itu mereka berani membayar mahal. Sangat mahal bahkan. Mereka membayar mahal, antara lain, agar anaknya tidak sibuk dengan gadget di saat masih masa-masa belajar.
Berapa yang disebut mahal itu? Sebagian ada yang sampai di angka sekitar 3 milyar per tahun. Belum termasuk uang lainnya. Dan mereka belajar di sana minimal 6 tahun (karena beda sekolah, beda masa belajarnya). Tetapi alangkah banyak orang yang kekayaan totalnya saja tidak cukup untuk bayar SPP setahun, memperlakukan anaknya seperti raja. Bukan menempa fisik dan jiwanya.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku dan Konsultan Parenting Indonesia
Informasi Pendaftaran Sekolah Hidayatullah Yogyakarta Tahu Ajaran 2026/2027
Post a Comment