Pengibaran Bendera One Piece Bentuk Protes Wong Cilik

Oleh Agus Mulyadi 

“Maaf, Jenderal. Agustus tahun ini tidak ada bendera merah putih berkibar di truk kami.”

Mulanya adalah kalimat yang biasa saja. Beberapa supir truk, yang punya tradisi kuat untuk selalu mengibarkan bendera merah putih di tiang truk atau di besi penyangga spion truknya setiap menyambut bulan Agustus, tahun ini memutuskan untuk tidak mengibarkannya sebagai bentuk protes. Mereka memprotes kebijakan penegakan hukum terhadap aturan ODOL (Over Dimension Over Load) yang dianggap justru lebih menitikberatkan hukuman kepada supir, alih-alih kepada ekspedisi atau perusahaan muatan yang memerintahkan supir membawa muatan berlebih. 

Mereka kemudian memilih mengibarkan bendera pengganti, dan entah bagaimana ceritanya, bendera jolly roger bajak laut topi jerami di serial One Piece-lah yang dipilih.

Aksi protes dengan mengibarkan bendera One Piece itu kemudian menyebar dan ditiru oleh banyak orang di luar profesi supir truk. Hanya butuh waktu beberapa hari sampai orang-orang membicarakannya secara luas dan kemudian menjadi gerakan kolektif lintas profesi.

Eskalasi isu dan protesnya pun membesar dengan sangat mudah, sebab apa yang tertulis dalam kisah One Piece terasa sangat relevan dengan apa yang terjadi pada kehidupan masyarakat Indonesia. 

Pemerintah dunia dengan marinirnya yang sangat setia melindungi kaum Naga Langit (Tenryuubito) yang kejam dan sewenang-wenang terasa seperti menggambarkan elit politik kita yang sangat loyal dan penurut kepada oligark yang tidak banyak jumlahnya tetapi menguasai banyak sendi ekonomi Indonesia.

Usaha pemerintah dunia dalam menutupi sejarah abad kekosongan untuk mempertahankan kekuasaan kemudian mengingatkan kita pada usaha pemerintah Indonesia yang rajin menampik fakta sejarah masa lalu dan bahkan mengupayakan agenda penulisan ulang sejarah yang baru. 

Peraturan upeti surgawi yang harus dibayarkan oleh masyarakat kepada naga langit bagaikan realitas kehidupan masyarakat kita yang harus membayar berbagai jenis pajak tetapi tidak mendapatkan timbal balik yang setara atas apa yang sudah mereka bayarkan sebab uang pajaknya tidak digunakan dengan efektif. 

Konsep keadilan absolut yang dibawa oleh marinir yang membuat mereka bisa melakukan segala cara, termasuk tindakan kejam dan tidak bermoral, dengan dalih stabilitas laut terasa mengingatkan kita pada institusi polisi dan tentara yang sering bertindak sewenang-wenang dalam proses penegakan hukum dan mengabaikan proses peradilan. 

Sistem Sichibukai yang dibuat oleh pemerintah dunia yang memberikan status legal dan kekebalan hukum kepada tujuh bajak laut yang sangat kuat, dengan syarat mereka harus bekerja sama dengan Angkatan Laut tak ubahnya seperti elit politik yang memelihara geng, preman, milisi, sampai ormas untuk membantu menggebuk para pengkritik pemerintah dan melanggengkan kekuasaan rezim. 

Singkatnya, apa yang terjadi di dalam semesta One Piece terasa mewakili apa yang kita rasakan. Dan karena alasan itu, dan beberapa alasan lain, menggunakan bendera bajak laut topi jerami (yang menjadi protagonis utama dalam series One Piece), terasa sangat relevan. 

Dengan segala sepak terjangnya, Luffy dan kompatriotnya memang tampil menegakkan nilai-nilai yang kita semua sepakati. Mereka seperti mewakili kita dalam memperjuangkan nilai-nilai tersebut.

Saat Luffy meninju dengan keras seorang Tenryuubito yang bertindak sewenang-wenang karena selama ini tidak ada yang berani melawannya, kita semua ikut merayakan. Kita merayakan bahwa kita masih punya cukup nurani untuk membenci perbudakan dan penindasan. Tepat saat tinju karet itu menghantam pipi si Tenryubito, ia seperti menularkan keberanian pada kita untuk berani melawan siapa saja. 

Saat seorang agen pemerintah menyabotase surat-surat yang dikirimkan oleh Kuma untuk puteri kesayangannya, Bonney, darah kita ikut mendidih. Ia seperti memberi kita perasaan marah yang sama terhadap pemerintah yang tidak bisa memegang amanah untuk rakyatnya. 

Saat menyaksikan adegan Kurozumi Orochi dan sejawat sesama pejabat keshogunan berpesta tiap hari dengan sake dan makanan berlimpah, sementara warga di Okobore dan daerah-daerah pinggiran lainnya di kerajaan Wano kelaparan dan sering terpaksa memakan atau meminum makanan dan minuman yang tercemar limbah, kita ikut geram dan mengutuk Orochi dan kawan-kawannya. Kegeraman itu pula yang kita rasakan kepada para pejabat tinggi yang mendapatkan berbagai fasilitas mewah sementara masih banyak masyarakat yang belum bisa hidup dengan standar yang layak. 

Pada titik itulah, One Piece bukan sekadar cerita, ia seperti ditakdirkan untuk menjadi representasi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dan karena alasan itulah, One Piece menjadi sangat penting untuk dibaca.

Komik yang mampu membuat pembacanya membenci perbudakan dan penindasan, ia jauh lebih baik daripada ribuan eksemplar buku ajar pendidikan moral pancasila. Anime yang mampu membuat penontonnya marah terhadap pemerintah yang tidak amanah dan gemar menyelewengkan uang pajak, ia lebih baik daripada ribuan sesi Pelatihan Empat Pilar Kebangsaan. 

Kini, protes dengan mengibarkan bendera bajak laut topi jerami dianggap sebagai tindakan subversif oleh pemerintah. Pimpinan DPR mengatakan bahwa mengibarkan bendera One Piece adalah upaya memecah belah. Sementara pimpinan MPR menganggap hal tersebut sebagai provokasi dan meminta agar aparat menindak tegas orang-orang yang mengibarkan bendera One Piece.

Eiichiro Oda mungkin tak akan menyangka, bahwa semangat perlawanan di dalam cerita One Piece itu ternyata mampu menembus batas-batas halaman komik dan menjadi ancaman bagi entitas pemerintah yang nyata. 

Tentu saja para pejabat konyol itu kelewat berlebihan. Bendera bajak laut topi jerami jelas bukan bentuk upaya pecah belah apalagi usaha untuk mengurangi kecintaan masyarakat terhadap merah putih.

Para supir yang mengibarkan bendera bajak laut topi jerami itu jelas jauh lebih nasionalis ketimbang para pejabat yang mengatur hukum untuk mereka. Mereka jauh lebih pancasilais, bahkan walau mereka sering tidak mendapatkan keadilan sosial dan sering tidak diperlakukan secara adil dan beradab sebagai manusia oleh pemerintah. 

Dengan atau tanpa bendera bajak laut topi jerami, sopir-sopir itu akan tetap kembali menggilas jalanan yang bobrok, kembali membayar pungli, dan kembali kena tilang. 

Orang-orang yang mengibarkan bendera bajak laut topi jerami itu besok juga akan kembali menjalani hidup sebagai warga negara biasa, yang membayar pajak, yang harus mengurus tetek bengek merepotkan karena rekeningnya diblokir, yang harus membayar uang kuliahnya dengan nominal yang mahal, yang harus merelakan alamnya dikeruk, yang harus merasakan kepayahan-kepayahan lainnya selayaknya warga Indonesia pada umumnya. 

Jika kemudian gerakan protes yang mereka lakukan, yang kemudian meluas dan menyebar dengan sangat luas dan mungkin tumbuh menjadi embrio bagi lahirnya gerakan revolusi yang besar, itu wajar saja. Bukankah selama ini revolusi politik di negeri ini selalu dipicu oleh penderitaan kelompok miskin tertindas yang kemudian disambut oleh kelompok menengah terpelajar? 

Ini murni protes. Bukan bentuk ketidakcintaan terhadap negara atau merah putih. Justru sebaliknya, mereka sangat mencintainya. 

Saya jadi teringat dengan adegan di series Peaky Blinders, saat warga Small Heath, Birmingham, mencopot foto rajanya lalu membakarnya di jalanan setelah pagi harinya, mereka dipukuli dan rumah mereka digeledah seenaknya oleh para polisi yang sedang mencari senjata selundupan yang hilang. 

“Kami bukannya tak setia kepada raja, tapi justru sebaliknya,” kata Thomas Shelby yang memimpin aksi membakar foto raja tersebut. “Kami tak mau melihat raja tercinta kami melihat hal-hal yang dilakukan terhadap kami, jadi kami mencopotnya dan membakarnya. Kami menderita demi raja kami, melewati api peperangan demi raja kami. Namun kini kami diserang di rumah kami sendiri. Para polisi baru dari Belfast itu mendobrak rumah dan mengganggu wanita kami. Bagi kami, hal seperti itu tidak pantas disaksikan oleh raja yang fotonya kami pasang di dinding rumah kami.”

Tentu agak berlebihan menyandingkan dua hal tersebut, tapi kiranya, itulah perasaan yang paling tepat untuk menggambarkan mereka yang melakukan protes dengan tidak mengibarkan bendera bajak laut topi jerami sebagai pengganti bendera merah putih.

Jangan-jangan memang benar, merah putih terlalu suci untuk berkibar di negara yang pemerintahnya hobi mempersulit rakyatnya sendiri.


Powered by Blogger.
close