[Novel Sang Pangeran Cinta] Bab 7 : Kenalan dengan Sang Pangeran

“Eh, Pak Pamungkas. Tadi cucu saya ketika berangkat sekolah bersama sopirnya menabrak anak sekolah.” Jawab Pak Subroto ketika ditanya lelaki perlente tersebut.

“Lho… kok mirip. Anak saya, Rama barusan ditabrak.” Kata lelaki perlente tersebut. “Atau jangan-jangan yang menabrak anak saya sopir Pak Broto?” Kata lelaki tersebut melanjutkan.

Benar saja, ternyata lelaku perlente yang Bernama Pamungkas tersebut Ayah dari Rama, panggilan dari Joni Ramadhan Pamungkas.

“Maafkan atas kelalaian sopir saya, Pak Pamungkas.” Pinta Pak Broto kepada ayah Rama. “Karena tergesa-gesa jadi mobil nya tidak bisa dikendalikan.” Lanjut Pak Broto.

“Iya, tidak masalah Pak. Semoga anak saya, Rama, tidak masalah.” Jawab Pak Pamungkas. “Ini cucu Pak Broto?” Tanyanya kemudian ketika melihat Sinta duduk di kursi tunggu ruang UGD.

“Iya, ini cucu saya, Sinta.” Jawab Pak Broto.

“Wah cantik banget cucunya.” Puji Pak Pamungkas. “Terimakasih ya, Nak. Kamu sudah menghubungi saya tadi dan sudah membawa anak saya ke rumah sakit.” Kata Pak Pamungkas kepada Sinta sambil mengulurkan tangan menyalami Sinta.

“Iya om, saya yang minta maaf sudah membuat anak om terluka.” Jawab Sinta sambil menjabat tangan Pak Pamungkas.

“Kamu ganti pakaian dulu, Nak. Baju dan rok kamu penuh darah itu.” Kata Pak Pamungkas kepada Sinta karena melihat pakaian Sinta penuh dengan darah.

“Nanti saja om, saya tidak tenang sebelum anak om, Rama siuman dari pingsannya.” Jawab Sinta.

****

Sementara dokter UGD masih melakukan observasi kepada Rama, yang belum sadar juga. Rama sudah dironsen dan cityscan pada bagian kepalanya. Tinggal menunggu saja hasilnya.

Sementara itu, Pak Pamungkas masuk ke ruang UGD di mana Rama dirawat. Darah yang bercucuran di kepala Rama sudah berhenti mengalir, namun masih ada jejak-jejak darah di kepala Rama.

****

Joni Ramadhan Pamungkas, adalah anak semata wayang Bapak Pamungkas. Seorang pengusaha kaya raya dibidang mebelair. Beberapa kali kantor Pak Subroto membeli kebutuhan mebelair di toko Pak Pamungkas. Pak Broto sangat cocok dengan produk-produk mebelair bikinan Pak Pamungkas yang memang kualitas ekspor.

Sinta merasa heran, anak seorang pengusaha kaya raya kok pergi ke sekolah memakai sepeda ontel. Apakah ini bagian dari didikan orang tua nya? Begitu batin Sinta bertanya-tanya tentang Rama.

“Saya yakin, kalau om Pamungkas mampu membelikan motor yang paling mahal untuk anaknya.” Gumam Sinta. “Tapi kenapa tidak dilakukan oleh Pak Pamungkas?” Begitu dialog yang ada di batin Sinta.

****

Jari tangan pemuda tampan yang Bernama Rama itu kelihatan bergerak. Perlahan dia membuka matanya. Tampak kebingungan melihat kondisi sekitar.

“Saya di mana?” Tanya dia lirih sambil meringis menahan sakit di kepalanya.

“Kamu di rumah sakit, Nak.” Jawab Pak Pamungkas.

“Saya kenapa, Ayah?” Tanya Rama kepada ayahnya yang ada di sampingnya.

“Kamu tadi ketika mau ke sekolah kecelakaan.” Jawab ayahnya dengan sabar. “Kamu ditabrak mobil yang ditumpangi Sinta.” Jawab Pak Pamungkas dan pandangannya ditujukan kepada Sinta.

Rama berusaha mengumpulkan memorinya, dia mengeryitkan dahi untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi. Lama dia diam berusaha memulihkan memorinya.

“Oh iya, saya tadi naik sepeda.” Katanya. “Lalu tiba-tiba saya merasakan gelap.” Lanjut Rama yang kelihatannya sudah mengingat kejadian kecelakaan tadi pagi.

“Kenapa kamu buru-buru, Ram?” Tanya ayahnya menelisik sebelum kejadian.

“Saya tadi karena harus mengecek warung jualan saya, Yah.” Jawab Rama diplomatis. “Itu warung yang ketiga, jadi saya harus memastikan penjaganya bisa menjalankan dengan baik sebelum saya melepasnya.” Jawab Rama. 

Sinta membatin, “Keren juga ini anak. Masih SMA sudah punya beberapa warung bisnis saja. Sudah ganteng, mandiri, sederhana, dan tentu tajir ini anak.”

****
Pak Pamungkas sedikit berikisah, kalau anaknya Rama ini memang sejak SD sudah belajar mandiri. Mulai dari mencuci, berangkat sekolah, mencari uang saku, semua dia usahakan sendiri. Sebagai orang tua nya jarang sekali memberi uang kepada Rama. Ya sesekali sih wajar, ketika Rama butuh uang banyak kadang saya memberinya.

Dan saya sendiri sebagai ayahnya nggak menyangka, kalau duit yang saya berikan Cuma-Cuma ke Rama itu, eh tiba-tiba dia laporan sudah membuat warung kecil-kecilan.

“Warung apa sih om?” Tanya Sinta penasaran.

“Nanti biar Rama saja yang menjawabnya ya, Sin.” Kata Pak Pamungkas sambil memijit kaki Rama dengan lembut.

Suasana menjadi cair, karena Pak Pamungkas tidak banyak menuntut kejadian kecelakaan pagi tadi. Mungkin itu karena Pak Broto pelanggan tetap dan besar perusahaan mebelairnya.

Tapi akhirnya dokter memutuskan, Rama harus opname karena benturan keras di kepalanya masih terasa pusing sehingga dokter harus melakukan observasi dua atau tiga hari ke depan.

“Maafin saya ya, Ram.” Kata Sinta ketika Rama sudah masuk ke bangsal untuk dirawat.

“Iya, nggak papa kok.” Jawab Rama dengan senyumnya. “Laki-laki kan harus kuat.” Lanjutnya sambil mengangkat tangan Sembilan puluh derajat dan mengepalkan tinju.

“Duh, ganteng bangeeeet….” Batin Sinta sambil tersenyum manis. “Iya-iya, kuat deh kamu….” Kata Sinta.

Setelah Rama masuk ke ruang bangsal perawatan, Sinta akhirnya pamit kepada Rama dan Pak Pamungkas. Sinta harus ganti pakaian seragamnya yang masih penuh dengan darahnya Rama.

“Eh, saya pamit dulu ya om dan Rama.” Katanya. “Ini mau ganti dan bersih-bersih pakaian saya. Nanti sore, saya nengok ke sini lagi deh.” Lanjut Sinta sambil mengulurkan tangan ke Pak Pamungkas dan Rama.

Terlihat Pak Pamungkas juga senang ngobrol dengan Sinta. Apalagi Rama, dia kayaknya juga tertarik dengan Sinta. Sedari tadi terlihat mencuri pandang melulu.

“Iya Sinta, hati-hati di jalan ya.” Jawab Pak Pamungkas. Sementara Rama hanya tersenyum melepas kepergian Sinta dari ruang bangsalnya.

“Kok jantung saya berdebar keras ya.” Batin Sinta. “Apakah ini yang dinamakan cinta?” Dialog Sinta dengan hatinya sendiri. “Ah masak sih, baru saja kenal Rama sudah bilang cinta.” Begitu batin Sinta, sambil melangkah di lorong rumah sakit.

“Mungkinkah dia adalah Sang Pangeran Cinta?” Batin Sinta ketika akan memasuki mobil, sementara Pak Juned sudah menyalakan mesin mobil dan siap pulang ke rumah Pak Broto.

Sementara sepeninggal Sinta, Rama juga senyam-senyum sendiri membayangkan kejadian tadi pagi. Sinta wanita yang sangat sempurna, cantik dan kelihatan pintar. Rama senang berlama-lama ngobrol dengan Sinta, ada rasa nyaman ketika bersama Sinta. Mungkin ini jalan Rama menemukan Sinta, Sang Bidadari Cinta.

“Ram, ayah ke kantor dulu ya. Ayah sudah menyuruh Bik Inah untuk menjaga kamu di rumah sakit.” Kata Pak Pamungkas.

“Iya, Yah.” Jawab Rama. “Maafin Rama ya, Yah, sudah merepotkan Ayah, andai masih ada mamah, pasti ayah tidak serepot ini.” Jawab Rama.

Rama jadi teringat mamah yang sudah pergi 4 tahun yang lalu karena sakit kanker. “Semoga Allah menerima dan memasukkan ke sorga,” gumam Rama

Bersambung ... Bab 8
Baca bab sebelumnya KLIK DI SINI 


Powered by Blogger.
close