Membangun Sekolah dari Tanah, Bukan Beton
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025 Di desa, di ladang, di tembang, dan wayang—di sanalah pendidikan hidup. Di sanalah Indonesia Emas 2045 bisa mulai dibangun.
Oleh : Agus M Maksum, Penulis Novel Sejarah Sunan Giri
Anak-anak itu dimasukkan ke dalam pagar semen sejak usia lima tahun. Pagi-pagi mereka berangkat dengan seragam yang diseragamkan, tas di punggung yang lebih besar dari tubuhnya sendiri, menuju bangunan yang disebut sekolah. Mereka dipisahkan dari kehidupan. Dari suara pasar, dari teriakan petani, dari deru angin di sawah, dari tangis bayi di posyandu, dari pertengkaran orang dewasa yang sedang menakar harga panen.
Selama delapan belas tahun, anak-anak itu dijejali kurikulum, bukan kenyataan. Mereka hafal nama bintang tapi tak tahu harga telur. Mereka bisa menyebutkan teori ekonomi, tapi tak paham mengapa ayahnya gagal menjual hasil kebun. Mereka belajar revolusi di atas kertas, tapi tak pernah tahu bagaimana rasanya melawan penindasan dengan perut kosong.
Dan kita menyebut itu pendidikan.
Beton-beton itu menjauhkan anak dari tanah tempat ia berpijak. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang menjauh dari kampung halaman. Bahwa sukses adalah ketika bisa bekerja di kota, di kantor, di balik meja. Bahwa desa hanyalah latar belakang muram yang harus ditinggalkan. Padahal di sanalah akar kehidupan, dan dari sanalah peradaban lahir.
Sunan Giri tak membangun sekolah dengan beton. Ia membangun peradaban dari tanah, dari manusia. Ia ajarkan tauhid dan keberanian lewat tembang dan dolanan. Lewat wayang, ia sisipkan nilai-nilai hidup. Giri Kedaton bukan sekadar pusat ilmu, tapi kawah tempat ditempa santri dan raja-raja muda. Mereka tidak hanya hafal kitab, tapi juga mengerti derita rakyat. Mereka belajar tidak untuk mendapat nilai, tapi untuk memperjuangkan kebenaran.
Dan karena itu, murid-muridnya berdiri tegak melawan VOC, bukan lima tahun, tapi ratusan tahun.
Kini, kita ingin mencetak generasi Indonesia Emas 2045. Tapi dengan apa? Dengan beton dan pagar? Dengan isolasi dari kenyataan hidup? Dengan menjadikan sekolah sebagai pabrik ijazah dan pengabdi modal?
Kita harus mulai membangun sekolah dari tanah. Dari sawah, dari pasar, dari panggung wayang, dari suara ibu yang mendongeng sebelum tidur. Dari anak-anak yang bertanya bukan untuk ujian, tapi karena ingin mengerti dunia.
Karena sekolah yang sejati adalah kehidupan itu sendiri. Dan pendidikan yang sejati adalah yang membentuk manusia, bukan hanya lulusan.
Kita butuh lebih banyak ladang, bukan lebih banyak pagar. Kita butuh lebih banyak guru seperti Giri, bukan lebih banyak pengawas yang sibuk menandai absen.
Di sanalah, di desa, di ladang, di tembang, dan wayang—pendidikan bisa hidup kembali. Dan dari sanalah Indonesia Emas 2045 seharusnya dimulai.
Klik untuk baca: https://aidigital.id/berita?id_item=1048
Post a Comment