Donald Trump Tunjuk Syaikh Hamza Yusuf sebagai Penasihat Keagamaan


Hidayatullah.com
 Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menunjuk Syaikh Hamza Yusuf untuk bertugas sebagai dewan penasihat Komisi Kebebasan Beragama.

Alasan penunjukan Hamza Yusuf, yang dikonfirmasi Gedung Putih pada pekan ini, karena beliau adalah “salah satu pendukung utama pembelajaran klasik dalam Islam dan… salah satu pendiri Zaytuna College, perguruan tinggi seni liberal (milik) Muslim pertama yang terakreditasi di Amerika Serikat.”

“Ia adalah penasihat Pusat Studi Islam di Berkeley’s Graduate Theological Union. Selama hampir satu dekade, Hamza berturut-turut menduduki peringkat sebagai ‘Ulama Islam paling berpengaruh di dunia Barat’ dalam 500 Muslim Paling Berpengaruh,” kata Gedung Putih dalam pernyataan yang diterbitkan pada Jumat (16/05/2025).


Dalam pernyataan tersebut disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Trump sebelumnya, Hamza Yusuf juga pernah ditugaskan di Komisi Hak yang Tidak Dapat Dicabut Departemen Luar Negeri AS.


Melansir 5Pillars, penunjukan terbaru ini kemungkinan akan terbukti kontroversial di kalangan Muslim Amerika mengingat dukungan tegas Trump terhadap ‘Israel’ dan rencananya untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanah mereka.

Trump juga telah menunjuk Ismail Royer sebagai penasihat. Gedung Putih menyebut Royer sebagai “Direktur Tim Aksi Islam dan Kebebasan Beragama untuk Religious Freedom Institute.


“Sejak masuk Islam pada tahun 1992, ia telah mempelajari ilmu agama dengan para ulama Islam tradisional dan menghabiskan lebih dari satu dekade bekerja di organisasi Islam nirlaba. Royer telah bekerja dengan organisasi nirlaba untuk mempromosikan perdamaian antar agama. Tulisannya telah muncul di berbagai publikasi dan ia ikut menulis sebuah artikel tentang Islam di Religious Violence Today: Faith and Conflict in the Modern World (ABC-CLIO,2020).”


Komisi Kebebasan Beragama dibentuk berdasarkan perintah eksekutif yang ditandandatangani oleh presiden Trump pada 1 Mei dalam sebuah acara lintas agama di Rose Gorden, Gedung Putih.


Komisi itu disebut bertujuan untuk memberi nasihat kepada pemerintah federal tentang perlindungan dan promosi kebebasan beragama. Komisi ini beranggotakan 26 orang, termasuk tokoh Kristen dan Yahudi terkenal.


Komisi ini bertujuan untuk menangani isu-isu seperti pilihan sekolah, hak orang tua, dan perlindungan untuk beribadah, meskipun beberapa pengkritik menyatakan kekhawatiran tentang kesesuainnya dengan nasionalisme Kristen.


Kontroversi Syaikh Yusuf Hamza

Hamza Yusuf dulunya merupakan seorang pengkritik vokal kebijakan AS sebelum 9/11. Namun, setelah itu sikapnya yang lebih memilih “stabilitas atas keadilan” dan keterlibatannya dengan lembaga Barat dan Teluk membuatnya menjadi kritikan banyak Muslim.

Perannya dalam Forum for Promoting Peace yang dipimpin UEA dan pembelaannya terhadap pemerintahan UEA di masa lalu telah menimbulkan kecurigaan yang tidak pernah ia bahas secara rinci.


Hamza Yusuf juga mendapat reaksi keras karena menyampaikan pernyataan yang dianggap meremehkan perjuangan umat Islam. Misalnya, pada tahun 2016, ia mengejek slogan revolusi Suriah dan menyarankan Palestina memikul tanggung jawab atas penderitaan mereka, yang memicu tuduhan merendahkan martabat Muslim.


Pernyataan kontroversial lainnya, terjadi pada 2016, yang mengatakan bahwa AS adalah “salah satu negara yang paling tidak rasis” dan keengganannya untuk mendukung gerakan Black Lives Matter membuatnya semakin diasingkan sebagian orang.


Dan keterlibatannya dalam berbagai program inisiatif pemerintah AS, seperti Komisi Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari pemerintahan Trump pada tahun 2019, telah mengundang sorotan.


Dalam pembelaan dirinya dari kritik, Syaikh Hamza Yusuf menekankan bahwa pernyataannya bertujuan ilmiah dan keterlibatannya dengan entitas kontroversial merupakan upaya untuk mempromosikan nilai-nilai Islam yang lebih luas.


Ulama berusia 67 tahun itu sering menegaskan komitmennya terhadap pendidikan dan beasiswa Islam, khususnya melalui Zaytuna College, yang didirikannya bersama untuk memajukan pembelajaran Islam tradisional di Barat.


Ia berpendapat bahwa peran utamanya adalah membimbing umat Islam secara spiritual dan intelektual, bukan untuk terlibat dalam aktivisme politik. Misalnya, dalam menanggapi tuduhan mengabaikan tujuan-tujuan Muslim, ia menekankan pentingnya upaya pendidikan jangka panjang daripada sikap politik langsung, seperti yang terlihat dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya di depan umum.


Mengenai keterlibatannya dalam gerakan-gerakan seperti Forum for Promoting Peace di UEA atau Komisi Kebebasan Beragama pemerintahan Trump, Yusuf membela hal-hal ini sebagai peluang untuk mewakili perspektif Muslim di kalangan yang berpengaruh.


Ia berpendapat bahwa terlibat dengan pemerintah, termasuk yang memiliki kebijakan kontroversial, memungkinkannya untuk mengadvokasi kebebasan beragama dan mengurangi kerugian bagi komunitas Muslim.


Sementara itu, ia telah menanggapi kritik dan kecaman atas pernyataan-pernyataan yang dianggap meremehkan, seperti komentarnya tahun 2016 tentang rasisme atau revolusi Suriah, dengan mengklarifikasi maksudnya. Ia menyatakan bahwa pernyataannya disalahartikan atau diambil di luar konteks, sering kali mengutip kompleksitas isu-isu seperti rasisme sistemik atau geopolitik.


Dalam wawancara dan ceramah, ia menekankan perlunya diskusi yang bernuansa daripada slogan-slogan, mendesak para pengkritiknya untuk mempertimbangkan keseluruhan karyanya daripada kutipan-kutipan yang terpisah.*

Powered by Blogger.
close