Tentang Ujub
Oleh : Mohammad
Fauzil Adhim
Dosa itu tercela.
Melakukan perbuatan dosa merupakan hal yang buruk. Tetapi ada yang lebih
dikhawatirkan oleh Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, padahal
beliau adalah orang yang paling takut berbuat dosa. Pasti masuk surga, tetapi
tak putus-putus istighfarnya. Beliau senantiasa memohon ampunan kepada Allah
‘Azza wa Jalla, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun.
Rasulullah shallaLlahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ
“Jika kalian tidak berdosa, maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya: 'ujub! 'Ujub!” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ
“Jika kalian tidak berdosa, maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya: 'ujub! 'Ujub!” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Apakah Rasulullah
shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita berbuat dosa? Tidak. Sama sekali
tidak. Bahkan beliau senantiasa mengingatkan kita agar bertaqwa. Apa artinya
taqwa? Mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Itu
berarti menjauhi segala yang dapat menyebabkan dosa. Perkataan Rasulullah shallaLlahu
‘alaihi wa sallam ini justru menunjukkan sangat buruknya ‘ujub, jauh lebih
buruk dibandingkan dosa bertumpuk. Tetapi alangkah mudah orang tergelincir ke
dalam ‘ujub dan tak jarang bukan sekedar mengagumi diri sendiri. Ia pun
membangga-banggakan diri di hadapan orang lain, meskipun dengan cara yang
tampaknya merendah.
Tidak berdosa itu
sangat berbeda dengan merasa tidak berdosa. Sesungguhnya orang yang benar-benar
beriman sangat takut terhadap kemungkinan berbuat dosa. Ia juga takut terhadap
dosa-dosa yang telah diperbuat. Bukan merasa bersih karena sudah ‘Idul Fithri
atau pulang dari Tanah Suci. Sebaliknya orang yang dekat dengan maksiat,
memandang ringan dosanya. Bertumpuk dosa ia perbuat, tetapi merasa ringan
seakan tak berbuat keburukan apa pun.
Maka, termasuk siapakah
kita ini? Masih adakah iman pada diri kita?
Ibnu Mas’ud
radhiyaLlahu ‘anhu berkata sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir (senang berbuat dosa) memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya. ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir (senang berbuat dosa) memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya. ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”
Begitulah tabiat dosa.
Berat akibatnya, tetapi ada yang lebih berat lagi, yakni ‘ujub (mengagumi
kehebatan diri sendiri). Ibarat pesawat, bersebab ‘ujub kita melihat
baling-baling yang kecil seakan sedemikian besarnya karena pandangan kita
tertuju kepadanya sepenuh kekaguman, sementara pesawat lebih besar yang tak
terlalu jauh tampak kecil di mata kita. Akibat selanjutnya, panjang tiada
terkira. Secara sederhana, ‘ujub merupakan salah satu perkara yang
membinasakan.
Nabi
shallaLlahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara yang membinasakan, suh (شُحٌّ) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang ('ujub) terhadap dirinya sendiri.” (HR. Ath-Thabarani).
ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara yang membinasakan, suh (شُحٌّ) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang ('ujub) terhadap dirinya sendiri.” (HR. Ath-Thabarani).
Ironisnya,
hari ini anak-anak diajari untuk ‘ujub semenjak diri, bahkan jauh sebelum
mereka mumayyiz. Berbagai training motivasi untuk siswa SD, alih-alih
membangkitkan semangat juang dan kegigihan berusaha, justru menumbuh-kuatkan
‘ujub pada diri mereka. Artinya, anak-anak memperoleh motivasi yang
membinasakan justru saat mereka sedang berangkat belajar menuntut ilmu.
Nah.
Mohammad
Fauzil Adhim, Guru dan Penulis Buku
Foto Budi CC Line
Post a Comment